Sang dia jauh disana berbaring diatas kasur pernikahan dan terisak dalam hati disamping suaminya yang sangat semu dia cintai. Menikmati penyesalan dan kebodohannya dimasa lalu sehingga menggadaikan hal terbesar dalam hidupnya, pernikahan semu yang tidak tercerna oleh logika, dia sering mengandai-andai masa lalunya dan membodohkan dirinya sendiri, dia sering bertanya-tanya dalam benaknya kenapa harus ada sejarah yang semestinya tidak perlu tercatat dalam diktat hidupnya. Terombang ambing dalam beban pikiran yang tak pernah terselesaikan.
Dia berputar-putar berupaya mencari bisikan dan jawaban dari fenomena yang terjadi, dia menelaah banyak referensi dalam kontemplasinya, mencoba menyingkap hakekat tersembunyi, mencoba menganalisa dua asumsi dalam kajiannya, takdir “keinginan tuhan” ataukah malapetaka “bukan keinginan tuhan”, jawaban pertama tentu akan memuaskannya karena takdir tuhan baginya adalah keseimbangan “baik” walau mencekam. Jawaban kedua mungkin akan meluluh lantakkan seluruh hidupnya, karena jika terjadi hal menyedihkan dalam hidup diluar keinginan tuhan, maka akan terjadi tatanan hidup yang rusak.
Sang dia amat menyadari kesalahannya, kebodohannya, dan keluguannya. dia beranggapan jika kesalahan masa lalunya tidak terjadi, dia akan mendapatkan hidup yang lebih baik, nama baik dan harga diri tidak tergadaikan seperti saat ini, dan mungkin akan mendapatkan cinta yang lebih logis dan sejati. Dia mulai tahu rasa sebuah penderitaan dan karma, dia mulai mengerti kepahitan hidup ditengah masyarakat yang sensitif, Dia mulai memahami hidup dengan lebih bijak, walau sifat egoisitasnya belum berkurang hingga saat ini.
Dia di ruang hidupnya tidak sehat secara psikis, dan terkadang menjalar kepada fisik sebagai psikosomatis, hinggap juga padanya paranoid dan trauma berat, segalanya menyatu menjadi istilah mengerikan dalam istilah psikis, “depresi”. Depresei berat yang membuatnya linglung meneruskan hidup, depresi yang membuatnya serasa terbebani beban berat dimasa keceriaannya, tekanan yang membuatnya menjadi berbeda ditengah-tengah dunia. Dia sudah 4 tahun lebih tidak bisa tidur malam, insomnia akut mengganggunya, dan setiap detik pikirannya tidak pernah lepas dari bayangan masa lalu.
Sang dia juga sering termenung di istana pernikahannya, sering merasakan sakit dibagian kepala karena beban dan problema yang bertumpuk di hati dan pikirannya. Wajahnya sudah tidak sebersinar seperti dulu, matahari sudah aga’ redup dalam wajahnya, urat-urat sarafnya selalu menegang di sela-sela perjalanan hidupnya. Kemeriahan dan kemaha indahan cinta yang selalu dia harapkan dulu ternyata hambar dia rasakan sekarang ini, dia tidak sesehat dulu, tetapi dia mencoba untuk terus berjalan menghadapi hidup, mencoba tabah dan konsekwen atas apa yang dia perbuat.
Dia dalam dunia “kemanusiawiannya” teramat gelisah, dia berusaha menghadirkannya dalam angan dan menyetubuhinya dengan berbagai perantara. Dalam angannya dia telah menikah secara ilusi, Mengecup dan memeluk dalam satu-satunya ruang dan kesempatan. Cintanya dengan segala gejolaknya telah membuatnya resah, dan akan semakin menggumpal jika tertahan dan tidak tersalurkan. Rasa dahaga dalam penantian panjang tiada akhir, rasa dahaga yang ta’akan pernah terobati. Hanya bisa diberi penawar sementara oleh dunia angan itu.
Sang dia disana terkujur lemas tanpa busana, mencoba melayani suami dengan dingin dan kaku. Dia tidak menikmati keindahan persetubuhan dengan sempurna, raganya menyatu tanpa penghalang dengan raga lain diatas pulau indah kapuk yang lembut, tetapi secara batin dan psikis terasa ada jarak dan hijab, Serasa jiwa dan batinnya tidak terbawa atmosfir ritual cinta itu. Dia pasrah dan tunduk dalam persetubuhannya sementara sang suami menggila dengan kemanusiawiannya.
Dia merasa malas memikirkan dan bersosialisasi terhadap ruang dan rekan-rekannya masa lalu. Serasa tempat masa lalu yang memperkenalkan mereka beserta manusia-manusia didalamnya selalu mengingatkan kepada sang dia. Dia juga menyayangkan beberapa pihak yang secara tidak langsung memisahkan mereka, pihak-pihak itu baginya belum terlalu matang memahami hidup dan menyimpulkan sesuatu dari beberapa perspektif saja. Mereka hidup dengan relatif tanpa beban yang berarti, bahagia dengan pasangan hidup mereka, cinta bagi mereka anugerah dan indah tetapi mereka mempersembahkan kegelisahan dan kepahitan cinta kepada dia dan sang dia.
Sang dia sebenarnya juga menyayangkan sikap dan titah teman-teman baiknya dulu. Dia mungkin menyesali karena terlalu lugu dan bertindak seperti daun tipis, bergerak ke arah timur ketika berhembus angin dari sebelah barat dan begitu sebaliknya. Dia tidak punya konsistensi dan plin-plan. Selalu terpengaruh dengan ajakan dan hasutan orang. Sekarang sang dia menyadari pendapat dan titah teman-teman baiknya menghantarkannya kepada kehancuran dan terisolasi. Dia jarang membalas sapaan rekan-rekannya dulu. Dia seperti kesusahan dan terlalu letih menjalani hidupnya dan tidak terlalu berkenan bahtera rumah tangganya terekspos massa. Tempat belajarnya dulu yang selalu apresiatif dengannya sekarang telah berubah menjadi tempat ghibah untuknya.
Dia sampai saat ini masih sering membayangkannya, sang dia disana juga masih sering mengingatnya, kemarin ditengah-tengah kesendiriannya Dia mengatakan kalau masih sangat mencintainya... sang dia di tengah-tengah rumah tangganya kemarin juga menyatakan masih sangat mencintainya.
Ahfa Rahman
2010