I. Latar Belakang
Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni, belajar dikelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar dikelas adalah pembelajaran.
Dalam referensi lain pemerolehan bahasa ialah suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini, seperti metode buku catatan harian, metode obeservasi, metode wawancara, metode eksperimen, dan lain sebagainya.
Meskipun dalam landasan filosofis yang mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak dimanapun juga memperoleh bahasa ibunya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak bisa dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Diamping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah menguasai kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.
Karena dalam bahasa ada tiga komponen, yakni, fonologi, sintaksis, dan semantik, maka pada kali ini saya akan membahas tentang “pemerolehan bahasa dalam bidang fonologi.”
II. Pembahasan
Bayi yang berumur tiga hingga empat bulan mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi tangisan atau bunyi cooing (mendekut, Hasan Shadily), seperti burung merpati (Wolf, 1966).
Pada usia antara lima dan enam bulan ia mulai mengoceh. Ocehannya ini kadang-kadang mirip bunyi ujaran, seperti dikatakan seorang ahli sebagai berikut:
“This dabbling give the impressions like a speech, sometimes occurs in sentence like sequences with rising and falling intonation” (de Villiers and de Villiers, 1978).
Pada sekitar umur enam bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Dardjowidjojo 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:
(1) C1 V1 C1 V1 C1 V1… papapa mamama bababa…
Orang tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun yang ada di benak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulatori belaka (Lihat Jakobson 1971; Ingram 1990; Gass dan Selinker). Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dita, mama, mami, dan sebagainya.
Pada anak barat, kata sudah mulai muncul pada umur sekitar satu tahun (mulai sekarang dipakai konvensi 1;0 untuk umur satu tahun, 1;7 untuk umur satu tahun dan tujuh bulan, dst). Pada Echa (Dardjowidjojo 2000), dan mungkin sekali untuk anak Indonesia yang lain, munculnya anak pertama agak “terlambat”, yakni, mendekati umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah bahwa anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada bahasa Inggris, yang kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus memilih suku mana. Pada anak Indonesia, yang kosakatanya kebanyakan Polisilabik, anak harus “menganalisis” terlebih dahulu, barulah dia menentukan suku mana yang akan diambil. Dari kata sepeda, misalnya, mana yang akan diambil: e, pe, atau da.
Dari perkembangan Echa, dan tidak mustahil juga anak Indonesia yang lain, yang diambil adalah suku terakhir. Pemilihan suku terakhir ini mempunyai latar belakang yang universal, yakni, bahwa anak dimanapun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk (Slobin 1979).
Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga mobil akan diujarkan sebagai /bi/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan sehingga (Eyang) Putri akan disapanya dengan Eyang /ti/.
Suatu hal yang menarik adalah adanya uniformitas pada anak-anak dengan pelbagai bahasa, dalam hal bunyi-bunyi pertama yang mereka produksikan, yaitu konsonan dengan p atau m, vokal belakang a mendahului konsonan belakang k dan g serta vokal depan i dan u (Laughin, 1978). Jadi, dalam perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan fonologi, misalnya aturan untuk mengkombinasikan bunyi-bunyi menjadi suatu bunyi ujaran yang ada dalam suatu bahasa. Disamping itu, mereka juga harus belajar menghubungkan bunyi dengan acuannya. Artinya seorang anak akan menangkap atau memperhatikan hal-hal yang penting dalam suatu ucapan atau kalimat, apabila hal itu mengacu (make reference to) kepada objek-objek yang kongkrit atau hubungan-hubungan dan kejadian-kejadian yang dialami si anak. Menghubungkan bunyi dengan acuannya ini merupakan suatu proses yang kompleks, bukan sekedar mempelajari benda-benda seperti yang dikatakan oleh kaum behavioris (Erwin Tripp, 1973 a).
Satu hal yang perlu dipahami benar adalah bahwa patokan tahun ini sangat relative. Ukuran tidak boleh tahun kalender tetapi harus tahun neurobiologis, artinya, pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu. Adik Echa, Dhira, telah dapat mengucapkan bunyi /r/ pada umur 3;0. Dari fakta ini dapat diramalkan bahwa Dhira pasti telah menguasai bunyi hambat, bunyi frikatif, dan bunyi afrikat, dan ternyata prediksi ini benar. Jadi, yang universal itu bukan tahunnya tetapi urutan pemunculan bunyi-bunyi itu.
Dengan demikian, tidak mustahil akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /d3/ pada umur 2;6 tetapi kalau ini terjadi dia pasti juga sudah dapat mengucapkan /k/ dan /g/.
Ahfa R Syach
2005
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tarigan, Henry Guntur. Psikolinguistik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1986.
Mar’at, Samsunuwiyati. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition, yakni, proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini dibedakan dari pembelajaran yang merupakan padanan dari istilah Inggris learning. Dalam pengertian ini proses itu dilakukan dalam tatanan yang formal, yakni, belajar dikelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan, sedangkan proses dari orang (umumnya dewasa) yang belajar dikelas adalah pembelajaran.
Dalam referensi lain pemerolehan bahasa ialah suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi, dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih, berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.
Banyak sekali metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini, seperti metode buku catatan harian, metode obeservasi, metode wawancara, metode eksperimen, dan lain sebagainya.
Meskipun dalam landasan filosofis yang mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak dimanapun juga memperoleh bahasa ibunya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak bisa dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Diamping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah menguasai kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input dari sekitarnya.
Karena dalam bahasa ada tiga komponen, yakni, fonologi, sintaksis, dan semantik, maka pada kali ini saya akan membahas tentang “pemerolehan bahasa dalam bidang fonologi.”
II. Pembahasan
Bayi yang berumur tiga hingga empat bulan mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi tangisan atau bunyi cooing (mendekut, Hasan Shadily), seperti burung merpati (Wolf, 1966).
Pada usia antara lima dan enam bulan ia mulai mengoceh. Ocehannya ini kadang-kadang mirip bunyi ujaran, seperti dikatakan seorang ahli sebagai berikut:
“This dabbling give the impressions like a speech, sometimes occurs in sentence like sequences with rising and falling intonation” (de Villiers and de Villiers, 1978).
Pada sekitar umur enam bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa Inggris dinamakan babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Dardjowidjojo 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti berikut:
(1) C1 V1 C1 V1 C1 V1… papapa mamama bababa…
Orang tua kemudian mengaitkan “kata” papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun yang ada di benak anak tidaklah kita ketahui; tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar latihan artikulatori belaka (Lihat Jakobson 1971; Ingram 1990; Gass dan Selinker). Konsonan dan vokalnya secara gradual berubah sehingga muncullah kata-kata seperti dadi, dita, mama, mami, dan sebagainya.
Pada anak barat, kata sudah mulai muncul pada umur sekitar satu tahun (mulai sekarang dipakai konvensi 1;0 untuk umur satu tahun, 1;7 untuk umur satu tahun dan tujuh bulan, dst). Pada Echa (Dardjowidjojo 2000), dan mungkin sekali untuk anak Indonesia yang lain, munculnya anak pertama agak “terlambat”, yakni, mendekati umur 1;6. Argumentasi untuk menjelaskan keterlambatan ini adalah bahwa anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan suku mana yang akan diambil sebagai wakil dari kata itu. Pada bahasa Inggris, yang kebanyakan katanya adalah monosilabik, anak tidak harus memilih suku mana. Pada anak Indonesia, yang kosakatanya kebanyakan Polisilabik, anak harus “menganalisis” terlebih dahulu, barulah dia menentukan suku mana yang akan diambil. Dari kata sepeda, misalnya, mana yang akan diambil: e, pe, atau da.
Dari perkembangan Echa, dan tidak mustahil juga anak Indonesia yang lain, yang diambil adalah suku terakhir. Pemilihan suku terakhir ini mempunyai latar belakang yang universal, yakni, bahwa anak dimanapun cenderung untuk memperhatikan akhir dari suatu bentuk (Slobin 1979).
Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga mobil akan diujarkan sebagai /bi/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan sehingga (Eyang) Putri akan disapanya dengan Eyang /ti/.
Suatu hal yang menarik adalah adanya uniformitas pada anak-anak dengan pelbagai bahasa, dalam hal bunyi-bunyi pertama yang mereka produksikan, yaitu konsonan dengan p atau m, vokal belakang a mendahului konsonan belakang k dan g serta vokal depan i dan u (Laughin, 1978). Jadi, dalam perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan fonologi, misalnya aturan untuk mengkombinasikan bunyi-bunyi menjadi suatu bunyi ujaran yang ada dalam suatu bahasa. Disamping itu, mereka juga harus belajar menghubungkan bunyi dengan acuannya. Artinya seorang anak akan menangkap atau memperhatikan hal-hal yang penting dalam suatu ucapan atau kalimat, apabila hal itu mengacu (make reference to) kepada objek-objek yang kongkrit atau hubungan-hubungan dan kejadian-kejadian yang dialami si anak. Menghubungkan bunyi dengan acuannya ini merupakan suatu proses yang kompleks, bukan sekedar mempelajari benda-benda seperti yang dikatakan oleh kaum behavioris (Erwin Tripp, 1973 a).
Satu hal yang perlu dipahami benar adalah bahwa patokan tahun ini sangat relative. Ukuran tidak boleh tahun kalender tetapi harus tahun neurobiologis, artinya, pada tahap perkembangan neurobiologi mana seorang anak dapat mengucapkan bunyi-bunyi tertentu. Adik Echa, Dhira, telah dapat mengucapkan bunyi /r/ pada umur 3;0. Dari fakta ini dapat diramalkan bahwa Dhira pasti telah menguasai bunyi hambat, bunyi frikatif, dan bunyi afrikat, dan ternyata prediksi ini benar. Jadi, yang universal itu bukan tahunnya tetapi urutan pemunculan bunyi-bunyi itu.
Dengan demikian, tidak mustahil akan ada anak Indonesia yang sudah dapat mengucapkan /d3/ pada umur 2;6 tetapi kalau ini terjadi dia pasti juga sudah dapat mengucapkan /k/ dan /g/.
Ahfa R Syach
2005
DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tarigan, Henry Guntur. Psikolinguistik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1986.
Mar’at, Samsunuwiyati. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama, 2005.