I. Pendahuluan
Sastra bandingan (comparative literature) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dan sedikitnya dua negara yang berbeda. Jika kita mengamati karya-karya dan berbagai negara dan daerah, maka ternyata bahwa rumusan Itu akan mengundang banyak masalah. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada. Sesungguhnya demikian, sebelum memasuki pada pembicaraan yang menyangkut masalah dalam studi sastra bandingan itu sendiri, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan.
Sastra banding merupakan salah satu metode kajian sastra. Disebabkan variannya metode-metode pengkajian sastra yang saling berhubungan dan saling menjelaskan antara satu dengan yang lain. Di antaranya yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan knitik sastra.
Dalam Bahasa Arab, sastra banding itu disebut dengan “al-Adab al-Mu qaran”, yakni sebuah nama untuk metode kajian sastra yang berdasarkan pada kajian yang berhubungan dengan kesejarahan. Kata ini terdiri dari dua kata, yakni “al-adab”, yang artinya sastra dan “al-muqaran”, yang artinya perbandingan. Jadi, al-adab al-muqaran artinya sastra banding atau sastra perbandingan. Dalam kamus Webster, dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra yang lain.
Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyt dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, diantaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan universal. Adapun menurut Hoiman mengungkapkan bahwa sastra banding adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Contohnya, kasus Hamka-Manfaluthi dan Chairil Anwar-Archibald Macleish.
Tujuan sastra banding antara lain: pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra, kedua, untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinil dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra, ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya nasional tertentu lebh hebat dibanding karya Sastra nasional yang lain. Empat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya satu dengan yang lainnya. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dan Negara-negara dan keindahan kanya sastra.
Dari beberapa tujuan-tujuan tersebut para kritikus membuat metodologi guna mencapal tujuan tersebut. Dan dari tujuan dan metode itulah diketahui berberapa manfaat dan signifikansi sasta banding.
Umpamanya dari segi regional dan universal kajian Sastra Banding memiliki manfaat yang besar. Dari segi regional. tumbuhnya sastra luar dan membandingkannya dengan sastra daerah menyampaikannva untuk mengurangi tingkat fanatisme bahasa dan sastra daerah tanpa keharusan yang jelas. Fanatisme buta dan kebohongan mengarahkannya pada keterasingan bahasa dan sastra daerah dari perkembangan pemikiran dan dari kebudayaan yang banyak membantu mempengaruhi satu karya sastra dari karya-karya sastra luar. Begitupula dari segi segi lainnya..
II. Latar belakang
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan negara-negara Arab telah terjalin sejak lama. L.W.C. van den Berg (via al-Gadri, 1988: 56) mengatakan bahwa orang Arab yang pertama datang ke Indonesia berasal dari pantai Teluk Persia dan pantai laut Merah. Hubungan antar kepulauan ini mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Abbasiyah di Mesopotamia dengan ibu kota Baghdad (sekitar tahun 800-1300) yang menjadi pusat ilmu, kebudayaan, dan perdagangan Dunia Islam. Dari daerah inilah asal sebagian besar orang Arab pertama yang sampai di Indoneia dan melakukan asimilasi kebudayaan dengan penduduk setempat. Pengaruh Arab di indoneia tampak pada beberapa hal, seperti kekuatan politik (berdirinya kesultanan di seluruh nusantara) pendidikan (berdirinya lembaga pendidikan), bahasa (absorbsi bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia), dan juga kesusasteraan (adopsi syair atau hikmah untuk justifikasi ajaran agama atau lainnya)
Dengan seiring berjalannya waktu sastra indonesia mengalami perjalananya yang cukup baik. Banyak lahir seorang tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang handal, banyak karya yang telah dibuahkan oleh tangan-tangan mereka sehingga bertaburanlah karya sastra Indonesia yang bermacam-macam bentuk maupun aliran-alirannya seperti yang kita tahu sekarang ini, banyak sekali penerbit yang menerbitkan novel, kumpulan puisi, banyak juga diterbitkan buku-buku tentang sejarah sastra, teori sastra dan lain-lainnya, sehingga sastra sastra di Indonesia mengalami sebuah kemajuan yang cukup signifikan, sehingga muncullah kajian kritik sastra, teori sastra bahkan sastra banding walaupun sebenarnya ilmu ini belum popular namun demikian prinsip-prinsipnya sudah pernah dilakukan oleh HB Jassin untuk menyeselaikan problema dalam duni sastra yaitu tuduhan tentang pemplagiatan karya sastra. Sastra juga mengalami sebuah perioditas, seperti pujangga lama, melayu lama, angkatan balai pustaka dan lain sebagainya.
Dan sudah barang tentu karya–karya sastra karya sastrawan indonesia tidak semata-mata murni hasil pemikiran mereka sendiri, ada beberapa karya sastra yang dipengaruhi oleh karya lain, dari segi isi karya itu sendiri ataupun para sastrawan yang dipengaruhi oleh sebuah pemikiran atau sastra negara lain khususnya arab karena memang amat tidak bisa dipungkiri pengaruh sastra arab di Indonesia amat sangat kental seperti yang disebutkan diatas, banyak para penyair arab yang pemikiran dan ilmunya digandrungi oleh masyarakat Indonesia lewat buku- buku mereka yang diterjemahkan maupun dalam bahasa aslinya, pertukaran pelajar, mahasisawa-mahaiawa indonesia yang belajar ke Negara arab, sehingga tentu terjadi transformasi budaya dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya para sastrawanpun terpengaruh oleh hal-hal tersebut ketika menciptakan sebuah karya sastra
Salah satu penyair arab yang karyanya juga dikenal di Indonesia adalah Jalaluddin Rumi dari persia. Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah-sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Banyak sekali para sastrawan Indonesia yang terpengaruh oleh sastra jalaluddin rumi, seperti Amir Hamzah, Hamzah Fansuri dan mungkin ada yang lain lagi, kebanyakan mereka terpengaruh oleh tasawufnya jalaluddin rumi, kebetulan jalaluddin selain sufi juga salah seorang penyair, begitu pula Hamzah Fansuri seorang sastrawan indonesia yang popularitasnya sudah sangat dikenal para penikmat sastra di Negara budaya ini, jadi tak khayal jika Hamzah Fansuri sangat terpengaruh dalam penciptaan karya sastranya terutama pada sisi ketasawufannya.
Untuk itulah terasa sangat menarik dan merupakan sebuah sumbangsih terhadap dunia kesusastraan jika diadakannya kajian sastra banding Indonesia dengan arab untuk sekedar melihat lebih jauh terhadap dua karya terebut, keterpengaruhannya serta melihat perkembangan sastra pada masing-masing dua negara itu.
III. Kerangka Teori
Pada pembuatan makalah ini penulis merasa agak ruwet dalam menentukan pendekatan dalam melakukan kajian ini, banyak sekali teori-teori dan aliran satra banding yang ada, mereka tumpang tindih dalam menetapkan langkah-langkah dan metodologinya dalam melakukan kajian sastra banding, menurut pemakalah belum ada teori yang pasti secara baku yang digunakan untuk mengkaji, namun inipun mungkin karena keterbataan wawasan, intelektual dan referensi penulis, untuk lebih mempermudah kajian ini penulis melakukan kajian sastra banding menggunakan apek-aspek pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra banding, Robert J. Clements melihat sastra banding sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: 1) tema/mitos, 2) jenis/bentuk, 3) aliran/zaman, 4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan 5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra.
Setelah itu kita juga akan mengikuti teori sastra banding eropa yang digagas para ilmuan sastra Perancis seperti Paul van Tieghem, Marnius-Francois Guyard, dan Jean- Marie Carre pada tahun 1951-an. Dalam teori kritik sastra Arab modern, teori ini merupakan teori mainstream yang dianut antara lain oleh Muhammad Gunaimi Hilal, Taha Nada, dan Raimun Tahhan. Menurut mereka, sastra banding adalah kajian terhadap hubungan historis suatu sastra nasional tertentu dengan sastra nasional lain. Bidang kajiannya adalah keterpengaruhan suatu sastra yang ditulis dalam suatu bahasa nasional tertentu oleh sastra lain yang berbeda bahasa, baik bentuk maupun isinya. Dalam sastra banding Eropa ini, disyaratkan adanya dua hal: pertama, dua karya yang diteliti harus berbeda bahasa, dan kedua harus ada hubungan keterpengaruhan lewat berbagai media, seperti bahan bacaan dan lain-lain.
Teori ini pernah dipersoalkan oleh Henry Remak “penggagas Teori Amerika” yang mana teori ini menitikberatkan kepada unsur ektrinsik sastra lewat studi keterpengaruhan historinya sehingga karya sastra menjadi teks yang tidak independent.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan minimal ada tiga point penting yang merupakan pendekatan dalam melakukan sebuah sastra banding, yaitu menganalisa hubungan historis kedua pengarang tersebut, menganalisa unsur ektrinsik dua karya terebut dan yang terakhir adalah mengungkap keterpengaruhan dua karya terebut.
Jadi pertama saya akan mengupas tuntas dua karya tersebut menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements seperti yang disebutkan diatas lalu saya akan menerapkan teori sastra banding eropa sebagai finishing karena jika anda lihat kedua teori diatas cukup berhubungan dan berkesinambungan.
III. Pembahasan
a. Karya Hamzah Fansuri dan Biografinya
Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ké-17. Nama gelaran atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dan Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sàmpai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad kedua SM, menyatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi, begitu pula rombongan kapal Firaun dan Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Beberapa para ahli sejarah masa kini juga telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatra seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad kesembilan dan kesepuluh, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim Nusantara awal dengan kehidupan yang cukup mapan. Tak mustahil adalah melalui pelabuhan Barus para pendakwah Islam menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kepulauan Nusantara dan dari sana menyebar ke tempat-tempat lain mengikuti aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia.
Dapat dipastikan bahwa dikota yang ramai dengan mayarakat kelas menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ orang dapat mempelajari berbagai bahasa khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa penting pula pada abad keenam belas yang sangat dikuasai oleh Syekh Hamzah Fansuri. Mungkin dikota kelahirannya inilah Syekh Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf dan kesusastraan. Sudah pasti pula di situ telah berkembang kegiatan tarekat sufi yang sangat digemari oleh lapisan luas masyarakat Muslim Timur.
Hamzah Fansuri telah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya. Bahasa Melayu yang digunakannya itu sudah memperlihatkan bentuk seperti yang digunakan sekarang. Hamzah Fansuri adalah pengembang tarekat Wujudiyah. Fahaman ini beranggapan bahawa segala makhluk itu pada asasnya esa, kerana wujud daripada zat Allah.
Barus mengalami perubahan yang menyedlhkan pada permulaan abad ke-17. Pamor ini agaknya mulai merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi pengäasa mutlak di seluruh pesisir Sumatra. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan kerajaan Barus dan memasukkannya dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi dan hanya pantas dihuni oleh para nelayan kecil. Kemegahannya selama berabad-abad telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing.
Hamzah Fansuri adalah seorang pembaharu. Hal itu tampak bagaimana perannya terhadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual yang sebelumnya hanya merupakan lingua franca, ekspresi keilmuan yang canggih dan modern, Islamisasi bahasa Melayu, islamisasi pemikiran dan kebudayaan dan lain sebagainya.
Tidak diketahui secara pasti tarikh hasil karyanya itu ditulis kerana tidak ada catatan tentangnya. Yang diketahui ialah bahawa Hamzah Fansuri menghasilkan karyanya itu pada masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam memerintah Aceh dalam tahun 1606-1636 M. Berdasarkan ini, dapatlah dikatakan bahawa karyanya itu tercipta pada awal abad ke-17. Ia menghasilkan beberapa buah syair dan prosa.
Salah satu karya puisinya adalah
Syair Wujudiyah
Tuhan kita yang bernama qadim
Pada sekalian makhluq terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dan Al-Rahman Al-Rahim
Rahman itulah yang bernama Sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Zat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama ma’lumat
Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dan Rahman itulah sekalian maujud
Ma’bud itulah yang terlalu bayan
Pada kedua alam kull qawin huwa fi sya’n
Ayat ini daripada Surah Al-Rahman
Sekalian alam di sana hairan
Ma’bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itu sekalian fariq
Pada kunhi-Nya tiada beroleh tariq
Haqiqat itu terlalu ‘iyan
Pada rupa kita sekalian insan
Ayna-ma tuwallu suatu burhan
Fa tsamma wajhu Allah pada sekalian maqan
Insan itu terlalu ‘ali
Hakikat Rahman yang mahabaqi
Ahsanu taqwimi itu rabbani
Akan kenyataan Tuhan yang bernama subhani
Subhani terlalu ‘ajib
Dan habl al-warid pun Ia qarib
Indah sekali qadi dan khatib
Demikian hampir tiada bernasib
Aho segala kita yang ‘asyiqi
Ingat-ingat akan ma’nn insani
Jika sungguh engkau bangsa ruhani
Jadikan dinimu rupa sultani
Kenal dirimu hai anak ‘alim
Supaya engkau senantiasa salim
Dengan dirimu yogya kau qa’im
Itulah hakikat salat dan sa’im
Dirimu itu bernama khalil
Tiada bercerai dengan Rabb Al-Jalil
Jika dapat ma’na dirimu akan dalil
Tiada berguna madzhab dan sabil
Kullu man “alay-ha fanin ayat min Rabbihi
Menyatakan insan irji’i ila asliki
Akan insan yang beroleh tawfiqihi
Supaya karam di dalam sirru sirrihi
Situlah wujud sekalian fanun
Tinggallah engkau daripada mal wa’l-banun
Engkaulah ‘asyiq terlalu junun
Inna li’LLahi wa inna ilayhi raji’un
Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya Bait Al-Ma’muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-asyjari di negeri Fansuri
b. Karya Jalaluddin Rumi dan Biografinya
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Ada juga yang mengatakan Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
Salah satu karyanya adalah
العشق الإلهى
الحب هو السيد
الحب وحده يتسيد كل الأشياء
فأنا متسَّيد كليا ً بالحب
بعاطفتي من الحب للحب
لدي الحجة الحلوى كالسكر
آه ! ريح عنيفه
أنا مجرد ريشة أمامك
فكيف لي أن أعرف أين ساذهب في هبوب الريح القادم؟
من ذا الذي يدعيِّ تحالفه مع القدر
فيكشف عن كونه كاذباً و أحمقاً
أى منا يضع القشة فى العاصفه؟
كيف يمكن لأحد أن يتحالف مع إعصار ؟
c. Analisis Perbandingan
1. Tema/ Mitos
Jika kita melihat syair wujudiyah Hamzah Fansuri diatas sepertinya kita diajak berenang kedunia tasawuf, dimana disitu Hamzah Fansuri mendeskripsikan wujud tuhan dengan teori-teori tasawuf yang ada. penulis pikir tema dari syair ini adalah wujud tuhan yang dapat diungkap dari segala ciptaannnya, “yaitu dari sifat Rahman dan Rohimnya yang berasal dari cintanya”, sepintas memang sulit dipahami. Sedikit saya jelaskan : menurut Iraqi, juga menurut Al-Jili dan Jami, (tokoh sufi) sifat-sifat tuhan yang hakikatnya adalah cinta telah terkandung di dalam kalimat suci Bismi Allah Al Rahman Al Rohim. Di dalam perkataan Bismillah itu terdapat dua macam cinta tuhan, yaitu Rahman dan Rahim. Rahman dan rahim berasal dari perkataan yang sama yaitu rahma (rahmat) Rahman adalah rahmat tuhan yang bersifat esensial (dzatiah) dan Rahim adalah rahmat tuhan yang berifat wajib (wujub). Dikatakan esensial karena sifat Rahman tuhan atau wujud Rahman-Nya berlaku atas semua ciptaan-nya dan atas segala manusia. Segala ciptaannya di alam semesta tidak terbebas dari Rahman-Nya. Dan diliputi oleh pengetahuaannya yang termanifestasikan karena dorongan cinta. Di lain hal Rahim disebut rahmat-Nya yang wajib sebab ia wajib dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencintainya dengan penuh kesungguhan yakni orang-orang yang mukmin dan muttaqin yang shaleh. Keterangan diatas sesuai dengan hadits qudsi yang menyatakan “Aku perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin untuk dikenal, maka Aku menciptakan sesuatu dan dengan demikian Aku dikenal.
Sedangkan syair ‘isyqul Ilahi kurang lebih bertemakan Cinta dan taqdir adalah raja, yang tentu kali ini cinta tersebut ditujukan kepada Allah. Seorang hamba yang cinta pada Allah dia akan melakukan apapun untuk Allah. Dan takdir-Nya juga tidak dapat dielakkan oleh hamba-hambanya.
Jadi dua karya tersebut sama-sama mengangkat cinta dalam isinya, hanya saja berbeda dalam sumber cinta itu, dalam wujudiyah cinta berasal dari tuhan sedangkan dalam ‘Isyqul Ilahi, cinta bersumber dari hamba.
2. Jenis/ Bentuk
Syair wujudiyah merupakan perpaduan antara Ruba’I Persia dan pantun melayu, karena syair tersebut terdiri dari empat baris dan terdiri dari dua misra (dua pasangan). Dan kalau digolongkan menurut isinya itu adalah termasuk syair didaktis; yaitu syair yang berisi religiusitas, mistis, dan moral.
Sedangkan ‘Isyqul Ilahi dalam literatur arab disebut dengan Syi’rul Hur yaitu Syair yang tidak terikat sekali dengan aturan wazan, Qofiah, maupun taf’ilat. Lihat saja pada syair tersebut tidak ada pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait-baitnya. Dan dari sisi isi syair (pembagian syair yang dipelopori Thaha Husein dan Ahmad Al Sayyib), ini disebut syair lirik yaitu syair yang secara langung mengungkapkan perasaan, baik sedih maupun harapan. Karena kurang lebih syair itu merupakan ungkapan perasaan Jalaluddin Rumi tentang cinta dan takdir.
3. Aliran/ Zaman
Berbicara Aliran atau zaman maka kita berbicara tentang waktu, berdasarkan waktu syair Wujudiyah merupakan Syair Pujangga Lama, yaitu Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad 20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Karena memang berdasarkan riwayat Hamzah Fansuri yang diperkirakan hidup antara abad 16-17 M. maka syair ini muncul pada abad itu pula.
Sedangkan syair ‘Isyqul Ilahi merupakan karya sastra dua periode yaitu pada masa Daulah Abbasyiah dan periode keruntuhan, periode Daulah Abbasyiah yaitu periode sastra yang dimulai dengan pemerintahan Abu al Abbas as Saffah yaitu tahun 132 H. dan diakhiri dengan jatuhnya kota Baghdad ditangan orang-orang mongol tahun 656 H. Sedangkan periode keruntuhan yaitu sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah tahun 656 H. hingga runtuhnya Dinasti Utsmaniyyah pada awal abad ketiga belas hijriah. Nah kalau kita lihat Jalaluddin Rumi lahir pada tahun 604 H dan wafat tahun 672 H, selain itu menurut sejarah dia baru menjadi penyair pada umur 48 tahun, jadi kira-kira masa kepenyairannya adalah antara tahun 652- 672 H. jadi dia ikut masa Abbasyiah selama 4 tahun dan setelah itu masuk pada masa keruntuhan selama 16 tahun. Mungkin masa penyairannyalah yang menjadi patokan karena ‘Isyqul Ilahi tidak dapat dipastikan tahun berapa ditulis.
4. Hubungan sastra dengan seni bidang lain
Pada syair Wujudiyyah jelas sekali itu berhubungan dengan ilmu bidang lain yaitu Tasawuf yaitu tepatnya pada ajaran wujudiyah, yaitu sebuah pemikiran yang yang telah berakar lama didalam pemikiran para sufi sebelum abad ke 13 seperti Al Hallaj, Imam Al Ghozali, dan Ibnu Arabi, nama aliran wujudiyah berasal dari istilah Wahdatul wujud, istilah yang dikemukakan oleh Qunawai setelah melakukan tafsir pada karya Ibnu Arabi, yaitu ajaran yang mengemukakan bahwa keesaan tuhan (tauhid tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena (alam Al khalq). Tuhan sebagai Dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian.
Seperti salah satu contohnya adalah pada bait ke lima ikat-ikatan tersebut Syekh Hamzah Fansuri mengutip ayat Al Qur’an, Kul Yawm Huwa Fi Sya’n (QS 55:29), maksudnya, “setiap hari dia berada di dalam banyak urusan” dengan pernyataan ini kita mengerti apabila penyair memandang bahwa wujud tuhan tak pernah bercerai dari alam semesta dan sekalian ciptaannya. Lalu di dalam bait ke enam tuhan menyebut sebagai haqiq perkataan yang berasal dari pada Al Qur’an surat Al-A’raf ayat 105. Di dalam ayat ini diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. mengumumkan diri sebagai utusan Allah dan menyatakan bahwa beliau tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia kecuali kata-kata yang benar (haqiq) tentang tuhan. Nah dapat disimpulkan pula menurut dua contoh di atas bahwa syair ini juga berhubungan dengan ilmu lainnya yaitu “Tafsir Al Qur’an”
Sedangkan pada syair ‘Isyqul Ilahi juga berhubungan sekali dengan tasawuf hanya saja kalau syair Hamzah Fansuri pada aliran wujudiyah sedangkan pada syair ini berhubungan pada aliran mahabbah, yaitu sebuah maqom pada ilmu tasawuf yang beruaha menggapai tuhan dengan cinta. Sufi yang termasyhur dalam mahabbah adalah Rabiah Al Adawiyah (713-801 H.) dari Basrah di Irak.
Hal ini nampak pada bait ke satu hingga ke tiga yang artinya adalah Cinta itu adalah raja/ tuan, dan cinta itu sendiri akan menuankan/ merajakan segala seuatu (yang dicintainya), dan saya menuankan Kulliyan (yang maha sempurna dan menyeluruh “Allah”) dengan segenap cinta. Ma’na dari ketiga bait tersebut sesuai dengan pengertian atau konsep maqom mahabbah yang tiga yaitu:
1. Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang
dimaksud dengan yang dikasihi disini adalah tuhan.
Begitu juga pada bait ke empat yang artinya adalah dari kelembutan cintaku untuk yang maha mencintai (Allah). Makna bait ini sesuai dengan ayat Al Qur’an yang berbicara tentang cinta, yaitu:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (العمران):31)
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jadi kesimpulannya dua syair di atas sama-sama berhubungan dengan ilmu lain yaitu Tasawuf dan tafsir Al Qur’an hanya saja pada bidang tasawuf Hamzah Fansuri berada pada aliran Wujudiyah sedangkan Jalaluddin Rumi berada pada aliran mahabbah.
5. Sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra
Sudah jelas sekali pada pembahasan ini amat bermanfaat untuk menilik kembali sejarah kritik sastra maupun teorinya, karena memang dari beberapa tujuan kritik sastra adalah untuk melihat sejarah sastra, menilai kualitas sastra, dan mengetahui unsur-unsur sastra; ektrinsik maupun intrinsik, setelah itu tergambarlah teori sastra ketika itu, kalau kita lihat pemaparan diatas terutama pada sesi biografi pengarang itu sudah cukup mewakili bagaimana sejarah dan kritik sastra pada waktu itu, sengaja pada sesi biografi agak saya paparkan panjang lebar karena saya tahu kita akan bertemu pada sesi ini. Pada bagian Hamzah Fansuri contohnya, kita telah melihat bagaimana sastra diciptakan ditengah-tengah mayarakat yang pada awalnya sangat gemilang pada sisi kesusastraan dan keilmuan, akibat daerah itu menjadi pelabuhan dagang penting yang dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari Negara-Negara lain, seperti Yunani dan Arab sehingga ada yang menyimpulkan itu adalah daerah pertama dakwah Islamiyyah oleh orang arab.
Lalu bagaimana peran Hamzah Fansuri terehadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual, Islamisasi bahasa Melayu dan lain sebagainya, setelah itu kemunduran kota Barus akibat Ekspani kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi penguasa mutlak diseluruh pesisir Sumatera
Begitu juga keadaan lingkungan serta kehidupan Jalaluddin Rumi pada masa Abbasyiah yang merupakan puncak kegemilangan pengetahuan dan intelektual yang tercatat dalam sejarah perjalanan Islam, bagaimana dia dipengeruhi secara tasawwuf oleh Fariduddin Attar, Ibnu Arabi dan lain sebagainya, dan juga kedalaman ilmu lainnya yang didapat ditengah-tengah masyarakat tersebut, nah, semua itu memungkinkan kita untuk melakukan kritik sastra yang selanjutnya menjadi sejarah kritik sastra dan teori sastra.
6. Pengaruh Historis
Dari pemaparan biografi kita tahu Hamzah Fansuri dan Jalaluddin Rumi tidak hidup sezaman, Jalaluddin Rumi hidup kurang lebih 400 tahun lebih awal dari Hamzah Fansuri. Rumi lahir Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 M, sedangkan Hamzah Fansuri diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 16 hingga awal abda ke 17 M. karena memang tidak ada naskah tersisa yang mencatat riwayat hidup Hamzah, terkait dengan pelarangan dan pemusnahan kitab-kitab karangan penulis wujudiyah pada 1637 baik memenuhi perintah sultan Iskandar Tsani (1937-1641) maupun fatwa Syekh Nuruddin Ar Raniri, ulama istana Aceh ketika itu.
Saya tidak memiliki referensi yang pasti bagaimana Hamzah Fansuri terpengaruh secara pemikiran, sastra, serta tasawufnya, saya berani mengatakan dia terpengaruh berdasarkan komentar Abdul Hadi W.M. (sastrawan kelahiran Sumenep) ketika ditanya apakah Hamzah Fansuri terpengaruh oleh Rumi? Dia menjawab: “Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.”
Kalau kita lihat pada biografi rumi di atas memang dia sezaman dan sangat dekat dengan Fariduddin Attar (Tokoh sufi), bahkan dia sempat meramalkan Rumi ketika itu berumur 5 tahun kelak akan menjadi, penyair dan tokoh spiritual besar, tentu pemikiran sufi, dan juga syair-syairnya amat memberikan pengaruh kepada Rumi, jadi bisa disimpulkan selain oleh Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi juga memberikan pengaruh kepada Hamzah.
Bukti lain adalah ketika terjadi ketidak terbuktiannya keterkaitan Hamzah Fansuri terhadap ajaran martabat tujuh yaitu salah satu ajaran pada aliran wujudiyyah yang berkembang hingga saat ini di Indonesia. Hal itu terbukti dengan kritik beliau terhadap aliran tersebut yang digagas oleh Mohammad Fadlullah Al Burhanpuri (w. 1620) dari India, pada karyanya dia mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke 16 terutama Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Rumi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami,
Mereka rata-rata hidup sezaman dan kalaupun tidak bedanya tidak terlalu jauh, bahkan Iraqi yang dianggap pemikir sufi yang banyak memberi warna kepada pemikiran Wujudiyyah Hamzah memiliki seorang guru yang bernama Sadruddin Qunawi (w.1274) seorang penafsir ulung yang hidup sezaman dan sekota dengan Rumi (w.1273).
Jadi kesimpulannya adalah dari sekian banyak tokoh sufi, penyair, ilmuwan, yang kebanyakan hidup sezaman terjadi sebuah keterpengaruhan pada keilmuwan, sastra dan pemikiran mereka, sehingga dapat kita terima bahwa tidak hanya beberapa tokoh saja yang mempengaruhi Rumi seperti yang banyak dikemukakan, namun pemikiran, aliran sufi, dan sastranya Rumi Sedikit banyak mewarnai kehidupan Hamzah terutama pada corak dan estetika karya sastra Hamzah.
7. Unsur-unsur Ektrinsik
Berbicara tentang faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi dua syair di atas sudah banyak kita temukan pada pemaparan biografi maupun penjelasan pada analisis perbandingan yang memaparkan keadaan sosial dimana kedua penyair itu hidup.
Yang pertama tentang Hamzah, pertama faktor luar yang mempengaruhi hamzah pada penciptaan Syair wujudiyahnya adalah, masa tumbuh kembangnya aliran sufi di Indonesia, memang pada masa itu banyak berkembang aliran sufi dan masa keemasan bagi pemikiran tasawuf, seperti dikutip pada buku Abdul Hadi juga; pada abad 16 adalah masa hidup para wali seperti Sunan Bonang dan Kalijaga yang tentu masalah sufistik tidak akan pernah lepas dari mereka. Juga diriwayatkan Sunan Bonang dan Giri ketika itu pergi ke Samudera Pasai untuk menuntut ilmu kepada Syekh Bari yang mengajarkan tasawuf Al Ghozali dan Rumi kepada mereka. Jadi pengalaman rohani dan kesufiannya terutama pemikiran aliran wujudiahnya dia representaikan pada sebuah karya sastra yang salah satunya adalah Syair Wujudiyah ini,
Yang kedua adalah tentang kedalaman dan makna syair tersebut yang tentu dilandaskan kepada kedalaman ilmu pengetahuan dan wawasan Islam Hamzah, nah! Faktor luar yang mempengaruhi hal itu adalah sejak lama kampung halaman Hamzah adalah tempat bersinggahnya para saudagar terutama dari Arab yang menurut sejarah Indonesia tidak terlepas dari misi dakwah Islamiyyah, sehingga kampung itu menjadi kampung Islami, banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam, banyak orang pribumi yang masuk Islam sehingga lambat laun daerah ini menjadi daerah yang dihuni oleh para intelek-intelek islam, dan peradaban dan budayanya identik dengan Islam, Sehingga tidak mustahil Hamzah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berwawasan islam yang baik, karena pengaruh lingkungannya. Selain itu menurut sejarah dia pernah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya.
Mengenai Rumi, faktor yang pertama adalah dunia Tasawuf pada masanya, seperti yang disebutkan diatas dia hidup semasa dengan tokoh-tokoh Sufi dan penyair serta para Ilmuwan yang cukup dikenal oleh sejarah Islam seperti Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami. Tentu dengan kesemarakan dan bakatnya itulah dia terbawa menjadi seorang sufi dan penyair lalu mengekspresikan syair-syairnya sesuai denga aliran sufi yang dia anut terutama pada ajaran mahabbah pada kali ini, terlihat pada syair ‘Isyqul Ilahi’ dia mengekpresiakn cintanya kepada Allah dan juga takdirnya.
Yang kedua adalah sama halnya dengan Hamzah yaitu terletak pada kedalaman ilmu beliau yang memberikan sumbangsih pada keindahan dan kedalaman makna syairnya, faktor yang mempengaruhi adalah masa Abbsyiah yang diklaim sebagai masa keemasan ilmu, dan pengetahuan bagi umat Islam, sebagai orang yang berbakat dan cerdas tentu dia tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas karena pengaruh lingkungan dan menjadi salah satu tokoh ilmuwan pada masa itu.
8. Keterpengaruhan
Abdul Hadi mengatakan keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi terlihat pada estetiknya, estetika berarti keindahan, yang saya amati berdasarkan kemampuan terbatas dan athifah yang tidak cukup bagus menghayati sebuah karya sastra, saya simpulkan ada beberapa pengaruh keindahan pada karya Hamzah oleh Jalaluddin Rumi yang pertama pada kesimpelan kalimat namun memiliki ma’na yang banyak, lihatlah syair “Isyqul Ilahi” ia tampak relatif pendek namun jika di dalami ada ma’na yang luas dalam tiap baitnya. Begitu juga pada syair wujudiyah, sangat pendek, namun bila dijelaskan lumayan panjang bahkan sangat panjang selain itu sangat susah untuk dipahami, karena kita tahu satu bait syair wujudiyah memiliki penafsiran tentang pemikiran tasawuf yang cukup rumit, kalau dalam bahasa arab kalimat seperti ini disebut i’jaz,
Yang kedua keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi pada banyaknya suku kata pada tiap baitnya, yaitu kira-kira dari 8-12 dalam setiap lariknya, begitu juga kalau kita melihat pada syair Rumi terlihat suku katanya juga sekitar 8-12.
Yang ketiga pengaruh Rumi ada pada sisi simboliknya, kalau kita lihat memang kedua syair ini cenderung merupakan sastra simbolik, yaitu sastra yang didalamnya terdapat simbol-simbol yang sarat dengan makna disamping imajinasi. sebagai contoh lihat karya Rumi, disitu dia menyimbolkan kata “kulliyan” (Yang maha menyeluruh/ universal) dengan maksud Allah, disinilah letak dimana sastra ini disebut simbolik. Terus coba anda lihat juga pada karya Hamzah dia banyak menggunakan kata “Rahman” yang sebetulnya maknanya adalah Allah itu sendiri, jadi keterpengaruhan Hamzah yang ketiga ada pada kegemaran Rumi dalam menyimbolkan kata dalam syairnya.
Ahfa R Syach
2007
Sastra bandingan (comparative literature) dalam banyak rumusan atau definisi, umumnya menekankan perbandingan dua karya atau lebih dan sedikitnya dua negara yang berbeda. Jika kita mengamati karya-karya dan berbagai negara dan daerah, maka ternyata bahwa rumusan Itu akan mengundang banyak masalah. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita mempertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada. Sesungguhnya demikian, sebelum memasuki pada pembicaraan yang menyangkut masalah dalam studi sastra bandingan itu sendiri, alangkah baik jika kita memperhatikan dahulu sejumlah rumusan mengenai sastra bandingan.
Sastra banding merupakan salah satu metode kajian sastra. Disebabkan variannya metode-metode pengkajian sastra yang saling berhubungan dan saling menjelaskan antara satu dengan yang lain. Di antaranya yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan knitik sastra.
Dalam Bahasa Arab, sastra banding itu disebut dengan “al-Adab al-Mu qaran”, yakni sebuah nama untuk metode kajian sastra yang berdasarkan pada kajian yang berhubungan dengan kesejarahan. Kata ini terdiri dari dua kata, yakni “al-adab”, yang artinya sastra dan “al-muqaran”, yang artinya perbandingan. Jadi, al-adab al-muqaran artinya sastra banding atau sastra perbandingan. Dalam kamus Webster, dikemukakan bahwa sastra bandingan mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra yang lain.
Sementara itu, menurut Rene Wellek dan Austin Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan. Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyt dan penyebarannya. Kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, diantaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum dan universal. Adapun menurut Hoiman mengungkapkan bahwa sastra banding adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara dengan tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya.
Masalah yang menyangkut dua atau lebih kebudayaan nasional dan pengaruh karya sastra terhadap karya sastra lain, misalnya, dalam kesusastraan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Contohnya, kasus Hamka-Manfaluthi dan Chairil Anwar-Archibald Macleish.
Tujuan sastra banding antara lain: pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra, kedua, untuk menentukan mana karya sastra yang benar-benar orisinil dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra, ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya nasional tertentu lebh hebat dibanding karya Sastra nasional yang lain. Empat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya satu dengan yang lainnya. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dan Negara-negara dan keindahan kanya sastra.
Dari beberapa tujuan-tujuan tersebut para kritikus membuat metodologi guna mencapal tujuan tersebut. Dan dari tujuan dan metode itulah diketahui berberapa manfaat dan signifikansi sasta banding.
Umpamanya dari segi regional dan universal kajian Sastra Banding memiliki manfaat yang besar. Dari segi regional. tumbuhnya sastra luar dan membandingkannya dengan sastra daerah menyampaikannva untuk mengurangi tingkat fanatisme bahasa dan sastra daerah tanpa keharusan yang jelas. Fanatisme buta dan kebohongan mengarahkannya pada keterasingan bahasa dan sastra daerah dari perkembangan pemikiran dan dari kebudayaan yang banyak membantu mempengaruhi satu karya sastra dari karya-karya sastra luar. Begitupula dari segi segi lainnya..
II. Latar belakang
Hubungan yang terjalin antara Indonesia dengan negara-negara Arab telah terjalin sejak lama. L.W.C. van den Berg (via al-Gadri, 1988: 56) mengatakan bahwa orang Arab yang pertama datang ke Indonesia berasal dari pantai Teluk Persia dan pantai laut Merah. Hubungan antar kepulauan ini mencapai puncaknya pada zaman Kerajaan Abbasiyah di Mesopotamia dengan ibu kota Baghdad (sekitar tahun 800-1300) yang menjadi pusat ilmu, kebudayaan, dan perdagangan Dunia Islam. Dari daerah inilah asal sebagian besar orang Arab pertama yang sampai di Indoneia dan melakukan asimilasi kebudayaan dengan penduduk setempat. Pengaruh Arab di indoneia tampak pada beberapa hal, seperti kekuatan politik (berdirinya kesultanan di seluruh nusantara) pendidikan (berdirinya lembaga pendidikan), bahasa (absorbsi bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia), dan juga kesusasteraan (adopsi syair atau hikmah untuk justifikasi ajaran agama atau lainnya)
Dengan seiring berjalannya waktu sastra indonesia mengalami perjalananya yang cukup baik. Banyak lahir seorang tokoh-tokoh sastrawan Indonesia yang handal, banyak karya yang telah dibuahkan oleh tangan-tangan mereka sehingga bertaburanlah karya sastra Indonesia yang bermacam-macam bentuk maupun aliran-alirannya seperti yang kita tahu sekarang ini, banyak sekali penerbit yang menerbitkan novel, kumpulan puisi, banyak juga diterbitkan buku-buku tentang sejarah sastra, teori sastra dan lain-lainnya, sehingga sastra sastra di Indonesia mengalami sebuah kemajuan yang cukup signifikan, sehingga muncullah kajian kritik sastra, teori sastra bahkan sastra banding walaupun sebenarnya ilmu ini belum popular namun demikian prinsip-prinsipnya sudah pernah dilakukan oleh HB Jassin untuk menyeselaikan problema dalam duni sastra yaitu tuduhan tentang pemplagiatan karya sastra. Sastra juga mengalami sebuah perioditas, seperti pujangga lama, melayu lama, angkatan balai pustaka dan lain sebagainya.
Dan sudah barang tentu karya–karya sastra karya sastrawan indonesia tidak semata-mata murni hasil pemikiran mereka sendiri, ada beberapa karya sastra yang dipengaruhi oleh karya lain, dari segi isi karya itu sendiri ataupun para sastrawan yang dipengaruhi oleh sebuah pemikiran atau sastra negara lain khususnya arab karena memang amat tidak bisa dipungkiri pengaruh sastra arab di Indonesia amat sangat kental seperti yang disebutkan diatas, banyak para penyair arab yang pemikiran dan ilmunya digandrungi oleh masyarakat Indonesia lewat buku- buku mereka yang diterjemahkan maupun dalam bahasa aslinya, pertukaran pelajar, mahasisawa-mahaiawa indonesia yang belajar ke Negara arab, sehingga tentu terjadi transformasi budaya dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya para sastrawanpun terpengaruh oleh hal-hal tersebut ketika menciptakan sebuah karya sastra
Salah satu penyair arab yang karyanya juga dikenal di Indonesia adalah Jalaluddin Rumi dari persia. Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah-sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, umat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Banyak sekali para sastrawan Indonesia yang terpengaruh oleh sastra jalaluddin rumi, seperti Amir Hamzah, Hamzah Fansuri dan mungkin ada yang lain lagi, kebanyakan mereka terpengaruh oleh tasawufnya jalaluddin rumi, kebetulan jalaluddin selain sufi juga salah seorang penyair, begitu pula Hamzah Fansuri seorang sastrawan indonesia yang popularitasnya sudah sangat dikenal para penikmat sastra di Negara budaya ini, jadi tak khayal jika Hamzah Fansuri sangat terpengaruh dalam penciptaan karya sastranya terutama pada sisi ketasawufannya.
Untuk itulah terasa sangat menarik dan merupakan sebuah sumbangsih terhadap dunia kesusastraan jika diadakannya kajian sastra banding Indonesia dengan arab untuk sekedar melihat lebih jauh terhadap dua karya terebut, keterpengaruhannya serta melihat perkembangan sastra pada masing-masing dua negara itu.
III. Kerangka Teori
Pada pembuatan makalah ini penulis merasa agak ruwet dalam menentukan pendekatan dalam melakukan kajian ini, banyak sekali teori-teori dan aliran satra banding yang ada, mereka tumpang tindih dalam menetapkan langkah-langkah dan metodologinya dalam melakukan kajian sastra banding, menurut pemakalah belum ada teori yang pasti secara baku yang digunakan untuk mengkaji, namun inipun mungkin karena keterbataan wawasan, intelektual dan referensi penulis, untuk lebih mempermudah kajian ini penulis melakukan kajian sastra banding menggunakan apek-aspek pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements.
Berdasarkan sejumlah definisi atau pengertian mengenai sastra banding, Robert J. Clements melihat sastra banding sebagai studi yang pendekatannya meliputi aspek: 1) tema/mitos, 2) jenis/bentuk, 3) aliran/zaman, 4) hubungan sastra dengan seni dan bidang lain, dan 5) sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra.
Setelah itu kita juga akan mengikuti teori sastra banding eropa yang digagas para ilmuan sastra Perancis seperti Paul van Tieghem, Marnius-Francois Guyard, dan Jean- Marie Carre pada tahun 1951-an. Dalam teori kritik sastra Arab modern, teori ini merupakan teori mainstream yang dianut antara lain oleh Muhammad Gunaimi Hilal, Taha Nada, dan Raimun Tahhan. Menurut mereka, sastra banding adalah kajian terhadap hubungan historis suatu sastra nasional tertentu dengan sastra nasional lain. Bidang kajiannya adalah keterpengaruhan suatu sastra yang ditulis dalam suatu bahasa nasional tertentu oleh sastra lain yang berbeda bahasa, baik bentuk maupun isinya. Dalam sastra banding Eropa ini, disyaratkan adanya dua hal: pertama, dua karya yang diteliti harus berbeda bahasa, dan kedua harus ada hubungan keterpengaruhan lewat berbagai media, seperti bahan bacaan dan lain-lain.
Teori ini pernah dipersoalkan oleh Henry Remak “penggagas Teori Amerika” yang mana teori ini menitikberatkan kepada unsur ektrinsik sastra lewat studi keterpengaruhan historinya sehingga karya sastra menjadi teks yang tidak independent.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan minimal ada tiga point penting yang merupakan pendekatan dalam melakukan sebuah sastra banding, yaitu menganalisa hubungan historis kedua pengarang tersebut, menganalisa unsur ektrinsik dua karya terebut dan yang terakhir adalah mengungkap keterpengaruhan dua karya terebut.
Jadi pertama saya akan mengupas tuntas dua karya tersebut menggunakan pendekatan-pendekatan yang dikemukakan oleh Robert J Clements seperti yang disebutkan diatas lalu saya akan menerapkan teori sastra banding eropa sebagai finishing karena jika anda lihat kedua teori diatas cukup berhubungan dan berkesinambungan.
III. Pembahasan
a. Karya Hamzah Fansuri dan Biografinya
Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ké-17. Nama gelaran atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dan Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sàmpai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh. Sumber-sumber sejarah Yunani, misalnya dari Ptolomeus abad kedua SM, menyatakan bahwa kapal-kapal Athena telah singgah di kota ini pada abad-abad terakhir sebelum tibanya tarikh Masehi, begitu pula rombongan kapal Firaun dan Mesir telah berkali-kali berlabuh di Barus antara lain untuk membeli kapur barus (kamper), bahan yang sangat diperlukan untuk pembuatan mummi. Beberapa para ahli sejarah masa kini juga telah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatra seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad kesembilan dan kesepuluh, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim Nusantara awal dengan kehidupan yang cukup mapan. Tak mustahil adalah melalui pelabuhan Barus para pendakwah Islam menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di kepulauan Nusantara dan dari sana menyebar ke tempat-tempat lain mengikuti aktivitas pelayaran pedagang-pedagang Muslim Arab dan Persia.
Dapat dipastikan bahwa dikota yang ramai dengan mayarakat kelas menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ orang dapat mempelajari berbagai bahasa khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa penting pula pada abad keenam belas yang sangat dikuasai oleh Syekh Hamzah Fansuri. Mungkin dikota kelahirannya inilah Syekh Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf dan kesusastraan. Sudah pasti pula di situ telah berkembang kegiatan tarekat sufi yang sangat digemari oleh lapisan luas masyarakat Muslim Timur.
Hamzah Fansuri telah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya. Bahasa Melayu yang digunakannya itu sudah memperlihatkan bentuk seperti yang digunakan sekarang. Hamzah Fansuri adalah pengembang tarekat Wujudiyah. Fahaman ini beranggapan bahawa segala makhluk itu pada asasnya esa, kerana wujud daripada zat Allah.
Barus mengalami perubahan yang menyedlhkan pada permulaan abad ke-17. Pamor ini agaknya mulai merosot dengan maraknya perkembangan kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi pengäasa mutlak di seluruh pesisir Sumatra. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Aceh berhasil menaklukkan kerajaan Barus dan memasukkannya dalam wilayah kesultanan Aceh. Iskandar Muda memperkecil peranan Barus baik sebagai pusat perniagaan maupun kebudayaan. Pada awal abad ke-18 kota tersebut telah berubah menjadi sebuah pekan kecil yang sunyi dan hanya pantas dihuni oleh para nelayan kecil. Kemegahannya selama berabad-abad telah musnah dan yang tinggal hanya puing-puing.
Hamzah Fansuri adalah seorang pembaharu. Hal itu tampak bagaimana perannya terhadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual yang sebelumnya hanya merupakan lingua franca, ekspresi keilmuan yang canggih dan modern, Islamisasi bahasa Melayu, islamisasi pemikiran dan kebudayaan dan lain sebagainya.
Tidak diketahui secara pasti tarikh hasil karyanya itu ditulis kerana tidak ada catatan tentangnya. Yang diketahui ialah bahawa Hamzah Fansuri menghasilkan karyanya itu pada masa Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam memerintah Aceh dalam tahun 1606-1636 M. Berdasarkan ini, dapatlah dikatakan bahawa karyanya itu tercipta pada awal abad ke-17. Ia menghasilkan beberapa buah syair dan prosa.
Salah satu karya puisinya adalah
Syair Wujudiyah
Tuhan kita yang bernama qadim
Pada sekalian makhluq terlalu karim
Tandanya qadir lagi hakim
Menjadikan alam dan Al-Rahman Al-Rahim
Rahman itulah yang bernama Sifat
Tiada bercerai dengan kunhi Zat
Di sana perhimpunan sekalian ibarat
Itulah hakikat yang bernama ma’lumat
Rahman itulah yang bernama Wujud
Keadaan Tuhan yang sedia ma’bud
Kenyataan Islam, Nasrani dan Yahud
Dan Rahman itulah sekalian maujud
Ma’bud itulah yang terlalu bayan
Pada kedua alam kull qawin huwa fi sya’n
Ayat ini daripada Surah Al-Rahman
Sekalian alam di sana hairan
Ma’bud itulah yang bernama haqiq
Sekalian alam di dalamnya ghariq
Olehnya itu sekalian fariq
Pada kunhi-Nya tiada beroleh tariq
Haqiqat itu terlalu ‘iyan
Pada rupa kita sekalian insan
Ayna-ma tuwallu suatu burhan
Fa tsamma wajhu Allah pada sekalian maqan
Insan itu terlalu ‘ali
Hakikat Rahman yang mahabaqi
Ahsanu taqwimi itu rabbani
Akan kenyataan Tuhan yang bernama subhani
Subhani terlalu ‘ajib
Dan habl al-warid pun Ia qarib
Indah sekali qadi dan khatib
Demikian hampir tiada bernasib
Aho segala kita yang ‘asyiqi
Ingat-ingat akan ma’nn insani
Jika sungguh engkau bangsa ruhani
Jadikan dinimu rupa sultani
Kenal dirimu hai anak ‘alim
Supaya engkau senantiasa salim
Dengan dirimu yogya kau qa’im
Itulah hakikat salat dan sa’im
Dirimu itu bernama khalil
Tiada bercerai dengan Rabb Al-Jalil
Jika dapat ma’na dirimu akan dalil
Tiada berguna madzhab dan sabil
Kullu man “alay-ha fanin ayat min Rabbihi
Menyatakan insan irji’i ila asliki
Akan insan yang beroleh tawfiqihi
Supaya karam di dalam sirru sirrihi
Situlah wujud sekalian fanun
Tinggallah engkau daripada mal wa’l-banun
Engkaulah ‘asyiq terlalu junun
Inna li’LLahi wa inna ilayhi raji’un
Hamzah gharib unggas quddusi
Akan rumahnya Bait Al-Ma’muri
Kursinya sekalian kapuri
Min al-asyjari di negeri Fansuri
b. Karya Jalaluddin Rumi dan Biografinya
Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru beruisa lima tahun.
Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Ada juga yang mengatakan Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing --yakni Syamsi Tabriz-- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."
Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benar sempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.
Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.
Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.
Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul karena para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFAT. Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit."
Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.
Salah satu karyanya adalah
العشق الإلهى
الحب هو السيد
الحب وحده يتسيد كل الأشياء
فأنا متسَّيد كليا ً بالحب
بعاطفتي من الحب للحب
لدي الحجة الحلوى كالسكر
آه ! ريح عنيفه
أنا مجرد ريشة أمامك
فكيف لي أن أعرف أين ساذهب في هبوب الريح القادم؟
من ذا الذي يدعيِّ تحالفه مع القدر
فيكشف عن كونه كاذباً و أحمقاً
أى منا يضع القشة فى العاصفه؟
كيف يمكن لأحد أن يتحالف مع إعصار ؟
c. Analisis Perbandingan
1. Tema/ Mitos
Jika kita melihat syair wujudiyah Hamzah Fansuri diatas sepertinya kita diajak berenang kedunia tasawuf, dimana disitu Hamzah Fansuri mendeskripsikan wujud tuhan dengan teori-teori tasawuf yang ada. penulis pikir tema dari syair ini adalah wujud tuhan yang dapat diungkap dari segala ciptaannnya, “yaitu dari sifat Rahman dan Rohimnya yang berasal dari cintanya”, sepintas memang sulit dipahami. Sedikit saya jelaskan : menurut Iraqi, juga menurut Al-Jili dan Jami, (tokoh sufi) sifat-sifat tuhan yang hakikatnya adalah cinta telah terkandung di dalam kalimat suci Bismi Allah Al Rahman Al Rohim. Di dalam perkataan Bismillah itu terdapat dua macam cinta tuhan, yaitu Rahman dan Rahim. Rahman dan rahim berasal dari perkataan yang sama yaitu rahma (rahmat) Rahman adalah rahmat tuhan yang bersifat esensial (dzatiah) dan Rahim adalah rahmat tuhan yang berifat wajib (wujub). Dikatakan esensial karena sifat Rahman tuhan atau wujud Rahman-Nya berlaku atas semua ciptaan-nya dan atas segala manusia. Segala ciptaannya di alam semesta tidak terbebas dari Rahman-Nya. Dan diliputi oleh pengetahuaannya yang termanifestasikan karena dorongan cinta. Di lain hal Rahim disebut rahmat-Nya yang wajib sebab ia wajib dilimpahkan kepada orang-orang tertentu yang mencintainya dengan penuh kesungguhan yakni orang-orang yang mukmin dan muttaqin yang shaleh. Keterangan diatas sesuai dengan hadits qudsi yang menyatakan “Aku perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin untuk dikenal, maka Aku menciptakan sesuatu dan dengan demikian Aku dikenal.
Sedangkan syair ‘isyqul Ilahi kurang lebih bertemakan Cinta dan taqdir adalah raja, yang tentu kali ini cinta tersebut ditujukan kepada Allah. Seorang hamba yang cinta pada Allah dia akan melakukan apapun untuk Allah. Dan takdir-Nya juga tidak dapat dielakkan oleh hamba-hambanya.
Jadi dua karya tersebut sama-sama mengangkat cinta dalam isinya, hanya saja berbeda dalam sumber cinta itu, dalam wujudiyah cinta berasal dari tuhan sedangkan dalam ‘Isyqul Ilahi, cinta bersumber dari hamba.
2. Jenis/ Bentuk
Syair wujudiyah merupakan perpaduan antara Ruba’I Persia dan pantun melayu, karena syair tersebut terdiri dari empat baris dan terdiri dari dua misra (dua pasangan). Dan kalau digolongkan menurut isinya itu adalah termasuk syair didaktis; yaitu syair yang berisi religiusitas, mistis, dan moral.
Sedangkan ‘Isyqul Ilahi dalam literatur arab disebut dengan Syi’rul Hur yaitu Syair yang tidak terikat sekali dengan aturan wazan, Qofiah, maupun taf’ilat. Lihat saja pada syair tersebut tidak ada pengulangan bunyi yang sama pada setiap akhir bait-baitnya. Dan dari sisi isi syair (pembagian syair yang dipelopori Thaha Husein dan Ahmad Al Sayyib), ini disebut syair lirik yaitu syair yang secara langung mengungkapkan perasaan, baik sedih maupun harapan. Karena kurang lebih syair itu merupakan ungkapan perasaan Jalaluddin Rumi tentang cinta dan takdir.
3. Aliran/ Zaman
Berbicara Aliran atau zaman maka kita berbicara tentang waktu, berdasarkan waktu syair Wujudiyah merupakan Syair Pujangga Lama, yaitu Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad 20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Karena memang berdasarkan riwayat Hamzah Fansuri yang diperkirakan hidup antara abad 16-17 M. maka syair ini muncul pada abad itu pula.
Sedangkan syair ‘Isyqul Ilahi merupakan karya sastra dua periode yaitu pada masa Daulah Abbasyiah dan periode keruntuhan, periode Daulah Abbasyiah yaitu periode sastra yang dimulai dengan pemerintahan Abu al Abbas as Saffah yaitu tahun 132 H. dan diakhiri dengan jatuhnya kota Baghdad ditangan orang-orang mongol tahun 656 H. Sedangkan periode keruntuhan yaitu sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah tahun 656 H. hingga runtuhnya Dinasti Utsmaniyyah pada awal abad ketiga belas hijriah. Nah kalau kita lihat Jalaluddin Rumi lahir pada tahun 604 H dan wafat tahun 672 H, selain itu menurut sejarah dia baru menjadi penyair pada umur 48 tahun, jadi kira-kira masa kepenyairannya adalah antara tahun 652- 672 H. jadi dia ikut masa Abbasyiah selama 4 tahun dan setelah itu masuk pada masa keruntuhan selama 16 tahun. Mungkin masa penyairannyalah yang menjadi patokan karena ‘Isyqul Ilahi tidak dapat dipastikan tahun berapa ditulis.
4. Hubungan sastra dengan seni bidang lain
Pada syair Wujudiyyah jelas sekali itu berhubungan dengan ilmu bidang lain yaitu Tasawuf yaitu tepatnya pada ajaran wujudiyah, yaitu sebuah pemikiran yang yang telah berakar lama didalam pemikiran para sufi sebelum abad ke 13 seperti Al Hallaj, Imam Al Ghozali, dan Ibnu Arabi, nama aliran wujudiyah berasal dari istilah Wahdatul wujud, istilah yang dikemukakan oleh Qunawai setelah melakukan tafsir pada karya Ibnu Arabi, yaitu ajaran yang mengemukakan bahwa keesaan tuhan (tauhid tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang berbagai-bagai di alam fenomena (alam Al khalq). Tuhan sebagai Dzat mutlak satu-satunya di dalam keesaan-Nya memang tanpa sekutu dan bandingan, dan karenanya tuhan adalah transenden (tanzih). Tetapi karena dia menampakkan wajah-Nya serta ayat-ayat-Nya di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia, maka dia memiliki kehadiran spiritual di alam kejadian.
Seperti salah satu contohnya adalah pada bait ke lima ikat-ikatan tersebut Syekh Hamzah Fansuri mengutip ayat Al Qur’an, Kul Yawm Huwa Fi Sya’n (QS 55:29), maksudnya, “setiap hari dia berada di dalam banyak urusan” dengan pernyataan ini kita mengerti apabila penyair memandang bahwa wujud tuhan tak pernah bercerai dari alam semesta dan sekalian ciptaannya. Lalu di dalam bait ke enam tuhan menyebut sebagai haqiq perkataan yang berasal dari pada Al Qur’an surat Al-A’raf ayat 105. Di dalam ayat ini diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. mengumumkan diri sebagai utusan Allah dan menyatakan bahwa beliau tidak mengatakan sesuatu yang sia-sia kecuali kata-kata yang benar (haqiq) tentang tuhan. Nah dapat disimpulkan pula menurut dua contoh di atas bahwa syair ini juga berhubungan dengan ilmu lainnya yaitu “Tafsir Al Qur’an”
Sedangkan pada syair ‘Isyqul Ilahi juga berhubungan sekali dengan tasawuf hanya saja kalau syair Hamzah Fansuri pada aliran wujudiyah sedangkan pada syair ini berhubungan pada aliran mahabbah, yaitu sebuah maqom pada ilmu tasawuf yang beruaha menggapai tuhan dengan cinta. Sufi yang termasyhur dalam mahabbah adalah Rabiah Al Adawiyah (713-801 H.) dari Basrah di Irak.
Hal ini nampak pada bait ke satu hingga ke tiga yang artinya adalah Cinta itu adalah raja/ tuan, dan cinta itu sendiri akan menuankan/ merajakan segala seuatu (yang dicintainya), dan saya menuankan Kulliyan (yang maha sempurna dan menyeluruh “Allah”) dengan segenap cinta. Ma’na dari ketiga bait tersebut sesuai dengan pengertian atau konsep maqom mahabbah yang tiga yaitu:
1. Memeluk kepatuhan kepada tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang
dimaksud dengan yang dikasihi disini adalah tuhan.
Begitu juga pada bait ke empat yang artinya adalah dari kelembutan cintaku untuk yang maha mencintai (Allah). Makna bait ini sesuai dengan ayat Al Qur’an yang berbicara tentang cinta, yaitu:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (العمران):31)
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jadi kesimpulannya dua syair di atas sama-sama berhubungan dengan ilmu lain yaitu Tasawuf dan tafsir Al Qur’an hanya saja pada bidang tasawuf Hamzah Fansuri berada pada aliran Wujudiyah sedangkan Jalaluddin Rumi berada pada aliran mahabbah.
5. Sastra sebagai gambaran sejarah kritik dan teori sastra
Sudah jelas sekali pada pembahasan ini amat bermanfaat untuk menilik kembali sejarah kritik sastra maupun teorinya, karena memang dari beberapa tujuan kritik sastra adalah untuk melihat sejarah sastra, menilai kualitas sastra, dan mengetahui unsur-unsur sastra; ektrinsik maupun intrinsik, setelah itu tergambarlah teori sastra ketika itu, kalau kita lihat pemaparan diatas terutama pada sesi biografi pengarang itu sudah cukup mewakili bagaimana sejarah dan kritik sastra pada waktu itu, sengaja pada sesi biografi agak saya paparkan panjang lebar karena saya tahu kita akan bertemu pada sesi ini. Pada bagian Hamzah Fansuri contohnya, kita telah melihat bagaimana sastra diciptakan ditengah-tengah mayarakat yang pada awalnya sangat gemilang pada sisi kesusastraan dan keilmuan, akibat daerah itu menjadi pelabuhan dagang penting yang dikunjungi oleh saudagar-saudagar dari Negara-Negara lain, seperti Yunani dan Arab sehingga ada yang menyimpulkan itu adalah daerah pertama dakwah Islamiyyah oleh orang arab.
Lalu bagaimana peran Hamzah Fansuri terehadap bahasa Melayu yang mengangkat bahasa itu kepada martabat yang lebih tinggi, yaitu menjadikannya bahasa intelektual, Islamisasi bahasa Melayu dan lain sebagainya, setelah itu kemunduran kota Barus akibat Ekspani kerajaan Aceh Darussalam yang ingin menjadi penguasa mutlak diseluruh pesisir Sumatera
Begitu juga keadaan lingkungan serta kehidupan Jalaluddin Rumi pada masa Abbasyiah yang merupakan puncak kegemilangan pengetahuan dan intelektual yang tercatat dalam sejarah perjalanan Islam, bagaimana dia dipengeruhi secara tasawwuf oleh Fariduddin Attar, Ibnu Arabi dan lain sebagainya, dan juga kedalaman ilmu lainnya yang didapat ditengah-tengah masyarakat tersebut, nah, semua itu memungkinkan kita untuk melakukan kritik sastra yang selanjutnya menjadi sejarah kritik sastra dan teori sastra.
6. Pengaruh Historis
Dari pemaparan biografi kita tahu Hamzah Fansuri dan Jalaluddin Rumi tidak hidup sezaman, Jalaluddin Rumi hidup kurang lebih 400 tahun lebih awal dari Hamzah Fansuri. Rumi lahir Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 M, sedangkan Hamzah Fansuri diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 16 hingga awal abda ke 17 M. karena memang tidak ada naskah tersisa yang mencatat riwayat hidup Hamzah, terkait dengan pelarangan dan pemusnahan kitab-kitab karangan penulis wujudiyah pada 1637 baik memenuhi perintah sultan Iskandar Tsani (1937-1641) maupun fatwa Syekh Nuruddin Ar Raniri, ulama istana Aceh ketika itu.
Saya tidak memiliki referensi yang pasti bagaimana Hamzah Fansuri terpengaruh secara pemikiran, sastra, serta tasawufnya, saya berani mengatakan dia terpengaruh berdasarkan komentar Abdul Hadi W.M. (sastrawan kelahiran Sumenep) ketika ditanya apakah Hamzah Fansuri terpengaruh oleh Rumi? Dia menjawab: “Ya, tapi tidak langsung karena abadnya sudah berbeda. Tetapi jelas bahwa dari segi estetik karya-karya Fansuri banyak dipengaruhi, terutama, oleh Fariduddin Attar. Paling jelas dari Attar, tapi itu dekat sekali dengan Rumi, karena Attar itu sambungannya dengan Rumi. Sedangkan dari pemikiran filsafatnya, baru Fansuri dipengaruhi Ibnu Arabi.”
Kalau kita lihat pada biografi rumi di atas memang dia sezaman dan sangat dekat dengan Fariduddin Attar (Tokoh sufi), bahkan dia sempat meramalkan Rumi ketika itu berumur 5 tahun kelak akan menjadi, penyair dan tokoh spiritual besar, tentu pemikiran sufi, dan juga syair-syairnya amat memberikan pengaruh kepada Rumi, jadi bisa disimpulkan selain oleh Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi juga memberikan pengaruh kepada Hamzah.
Bukti lain adalah ketika terjadi ketidak terbuktiannya keterkaitan Hamzah Fansuri terhadap ajaran martabat tujuh yaitu salah satu ajaran pada aliran wujudiyyah yang berkembang hingga saat ini di Indonesia. Hal itu terbukti dengan kritik beliau terhadap aliran tersebut yang digagas oleh Mohammad Fadlullah Al Burhanpuri (w. 1620) dari India, pada karyanya dia mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke 16 terutama Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Rumi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami,
Mereka rata-rata hidup sezaman dan kalaupun tidak bedanya tidak terlalu jauh, bahkan Iraqi yang dianggap pemikir sufi yang banyak memberi warna kepada pemikiran Wujudiyyah Hamzah memiliki seorang guru yang bernama Sadruddin Qunawi (w.1274) seorang penafsir ulung yang hidup sezaman dan sekota dengan Rumi (w.1273).
Jadi kesimpulannya adalah dari sekian banyak tokoh sufi, penyair, ilmuwan, yang kebanyakan hidup sezaman terjadi sebuah keterpengaruhan pada keilmuwan, sastra dan pemikiran mereka, sehingga dapat kita terima bahwa tidak hanya beberapa tokoh saja yang mempengaruhi Rumi seperti yang banyak dikemukakan, namun pemikiran, aliran sufi, dan sastranya Rumi Sedikit banyak mewarnai kehidupan Hamzah terutama pada corak dan estetika karya sastra Hamzah.
7. Unsur-unsur Ektrinsik
Berbicara tentang faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi dua syair di atas sudah banyak kita temukan pada pemaparan biografi maupun penjelasan pada analisis perbandingan yang memaparkan keadaan sosial dimana kedua penyair itu hidup.
Yang pertama tentang Hamzah, pertama faktor luar yang mempengaruhi hamzah pada penciptaan Syair wujudiyahnya adalah, masa tumbuh kembangnya aliran sufi di Indonesia, memang pada masa itu banyak berkembang aliran sufi dan masa keemasan bagi pemikiran tasawuf, seperti dikutip pada buku Abdul Hadi juga; pada abad 16 adalah masa hidup para wali seperti Sunan Bonang dan Kalijaga yang tentu masalah sufistik tidak akan pernah lepas dari mereka. Juga diriwayatkan Sunan Bonang dan Giri ketika itu pergi ke Samudera Pasai untuk menuntut ilmu kepada Syekh Bari yang mengajarkan tasawuf Al Ghozali dan Rumi kepada mereka. Jadi pengalaman rohani dan kesufiannya terutama pemikiran aliran wujudiahnya dia representaikan pada sebuah karya sastra yang salah satunya adalah Syair Wujudiyah ini,
Yang kedua adalah tentang kedalaman dan makna syair tersebut yang tentu dilandaskan kepada kedalaman ilmu pengetahuan dan wawasan Islam Hamzah, nah! Faktor luar yang mempengaruhi hal itu adalah sejak lama kampung halaman Hamzah adalah tempat bersinggahnya para saudagar terutama dari Arab yang menurut sejarah Indonesia tidak terlepas dari misi dakwah Islamiyyah, sehingga kampung itu menjadi kampung Islami, banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam, banyak orang pribumi yang masuk Islam sehingga lambat laun daerah ini menjadi daerah yang dihuni oleh para intelek-intelek islam, dan peradaban dan budayanya identik dengan Islam, Sehingga tidak mustahil Hamzah tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berwawasan islam yang baik, karena pengaruh lingkungannya. Selain itu menurut sejarah dia pernah mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya seperti ke Mekah, Madinah, Baghdad, Pahang (Tanah Melayu), dan Kudus (Pulau Jawa). Ia menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping bahasa Melayu yang memang menjadi bahasa ibundanya.
Mengenai Rumi, faktor yang pertama adalah dunia Tasawuf pada masanya, seperti yang disebutkan diatas dia hidup semasa dengan tokoh-tokoh Sufi dan penyair serta para Ilmuwan yang cukup dikenal oleh sejarah Islam seperti Bayazid Bishtami, Mansur Al Hallaj, Fariduddin Attar, Syekh Junaid Al Baghdadi, Ahmad Ghozali, Ibnu Arabi, Mahghribi, Mahmud Habitari, Iraqi dan Jami. Tentu dengan kesemarakan dan bakatnya itulah dia terbawa menjadi seorang sufi dan penyair lalu mengekspresikan syair-syairnya sesuai denga aliran sufi yang dia anut terutama pada ajaran mahabbah pada kali ini, terlihat pada syair ‘Isyqul Ilahi’ dia mengekpresiakn cintanya kepada Allah dan juga takdirnya.
Yang kedua adalah sama halnya dengan Hamzah yaitu terletak pada kedalaman ilmu beliau yang memberikan sumbangsih pada keindahan dan kedalaman makna syairnya, faktor yang mempengaruhi adalah masa Abbsyiah yang diklaim sebagai masa keemasan ilmu, dan pengetahuan bagi umat Islam, sebagai orang yang berbakat dan cerdas tentu dia tumbuh berkembang menjadi anak yang cerdas karena pengaruh lingkungan dan menjadi salah satu tokoh ilmuwan pada masa itu.
8. Keterpengaruhan
Abdul Hadi mengatakan keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi terlihat pada estetiknya, estetika berarti keindahan, yang saya amati berdasarkan kemampuan terbatas dan athifah yang tidak cukup bagus menghayati sebuah karya sastra, saya simpulkan ada beberapa pengaruh keindahan pada karya Hamzah oleh Jalaluddin Rumi yang pertama pada kesimpelan kalimat namun memiliki ma’na yang banyak, lihatlah syair “Isyqul Ilahi” ia tampak relatif pendek namun jika di dalami ada ma’na yang luas dalam tiap baitnya. Begitu juga pada syair wujudiyah, sangat pendek, namun bila dijelaskan lumayan panjang bahkan sangat panjang selain itu sangat susah untuk dipahami, karena kita tahu satu bait syair wujudiyah memiliki penafsiran tentang pemikiran tasawuf yang cukup rumit, kalau dalam bahasa arab kalimat seperti ini disebut i’jaz,
Yang kedua keterpengaruhan syair Hamzah oleh Rumi pada banyaknya suku kata pada tiap baitnya, yaitu kira-kira dari 8-12 dalam setiap lariknya, begitu juga kalau kita melihat pada syair Rumi terlihat suku katanya juga sekitar 8-12.
Yang ketiga pengaruh Rumi ada pada sisi simboliknya, kalau kita lihat memang kedua syair ini cenderung merupakan sastra simbolik, yaitu sastra yang didalamnya terdapat simbol-simbol yang sarat dengan makna disamping imajinasi. sebagai contoh lihat karya Rumi, disitu dia menyimbolkan kata “kulliyan” (Yang maha menyeluruh/ universal) dengan maksud Allah, disinilah letak dimana sastra ini disebut simbolik. Terus coba anda lihat juga pada karya Hamzah dia banyak menggunakan kata “Rahman” yang sebetulnya maknanya adalah Allah itu sendiri, jadi keterpengaruhan Hamzah yang ketiga ada pada kegemaran Rumi dalam menyimbolkan kata dalam syairnya.
Ahfa R Syach
2007