I. PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah
Mendengar nama Abu Nuwas, Muslim Indonesia dibetot oleh pandangan awal bahwa ia adalah seorang yang jenaka dan penuh kelakar. Sebuah dongeng yang sering dituturkan oleh orang-orang tua Muslim terhadap anak-anaknya. Pandangan ini sebenarnya menyederhanakan masalah. Sebab, Abu Nuwas sendiri merupakan sosok yang kontroversial, bukan hanya sebagai tokoh dan ahli bercerita jenaka. Sebaliknya, Abu Nuwas adalah seorang yang dikenal “pemberontak teologis” terhadap model Islam ortodoks.
Selain itu Abu Nuwas tidak hanya sebagai orang yang berani menentang ortodoksi (dan kalangan khalifah, agamawan dan umara’), akan tetapi ia juga dilihat sebagai orang (yang dituduh) zindiq oleh penguasa Dinasti ‘Abbasiyah. Pemberontakan yang dilakukan Abu Nuwas didorong oleh situasi di mana pada masanya, berbagai persoalan, seperti hukum, bahasa, filsafat, agama, dan politik Islam “disistematisasikan” oleh kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah sebagai bentuk despotisme dalam pengetahuan dan praktik politik.
Abu Nuwas juga kontroversial, karena sebagai seorang Muslim, ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang secara syar’i (agama) dilarang. Ia bangga untuk melakukan perbuatan perbuatan dosa kecuali syirik. Saat orang rajin shalat justru Abu Nuwas meremehkan shalat, di saat orang berlomba-lomba menunaikan ibadah haji, Abu Nuwas justru tidak begitu tertarik dengan ritual seperti itu, kecuali hajinya atas desakan seorang wanita, dan karenanya terpaksa. Bahkan Abu Nuwas menyukai minum khamar sehingga terkenal sebagai penyair khamr. Hal in tampaknya merupakan suatu kebanggaan tersendiri, terutama untuk menunjukkan eksistensi keturunan (nasab) keluarga. Khamr bagi Abu Nuwas, dijadikan kompensasi kekecewaan perasaan atau ketika merasa kosong jiwanya dan untuk menghindarkan diri dan kesibukan yang harus diselesaikannya. Khamr merupakan segala-galanya dalam kehidupannya, karena mampu menghantarkannya ke dalam suasana ekstase ke alam bayangan yang indah. Bahkan, khamr menjadi tujuan pertama hidup dan lebih daripada menjalankan perintah agama. Disamping itu, Abu Nuwas juga menyukai wanita di satu sisi, dan mencintai sesama jenis (laki-laki) di sisi lain.
Pada masa hidup Abu Nawas Masyarakat Baghdad saat itu terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang mengambil kesempatan dan memanfaatkan segala yang ada ini untuk mengumpulkan kekayaan dunia, berfoya-foya dan hedonis. Kedua, menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat yang hedonis untuk berkontemplasi, merefleksikan segala yang ada untuk menemukan jati diri. Abu Nuwas, meskipun melalui kehidupan yang pertama, pada akhirnya cenderung memilih model kehidupan yang terakhir, sebagaimana-diekspresikan dalam puisi-puisi zuhudnya (Taubat).
Kejayaan Kepenyairan Abu Nuwas menjadi sangat tersohor karena ia menjadi penyair istana dan Ar-Rasyid sendiri sangat menyukai dan sangat memperhatikan sastra dan puisi. Abu Nuwas dianggap sebagai pembaharu sastra ‘Abbasiyah karena telah banyak menemukan bentuk-bentuk puisi baru, menggunakan gaya mutakallimun, istilah-istilah filsafat dan pengetahuan ilmiah. Penemuan bentuk puisi baru dibuktikan dengan dicatatnya dia dalam sejarah sastra Arab sebagai penya’ir khamriyyat. Penggunaan gaya mutakallimun ditunjukkannya dengan kebiasaan berdebat dan berargumentasi dengan lawan bicara menyangkut keyakinan tertentu.
Banyak karyanya yang telah menjadi sejarah dan diakui oleh berbagai kalangan baik pada masa klasik maupun sampai sekarang karena keindahan dan keunikannya, baik puisi-puisi gilanya maupun puisi-puisi taubatnya di akhir hayatnya. Untuk sekedar berkarya dan meramaikan dunia sastra saya sebagai penulis merasa tertarik untuk menganalisa salah satu syair taubatnya untuk sekedar lebih memahami secara mendalam kandungan-kandungan yang tersembunyi dalam karya sastra Abu Nuwas
Banyak sekali teori yang digunakan untuk menganalisa sebuah karya sastra, seperti teori mimetik, ekspresif, pascastrukturalis, reepsi, strukturalisme dan lainnya, namun diantara teori teori tersebut ada sebuah teori yang diakui paling baik dan banyak dilakukan untuk mengkaji dan menganalisa karya sastra, teori itu bernama teori strukturalisme, maka untuk memaksimalkan kajian ini saya ingin mengkaji karya satra Abu Nuwas menggunakan teori strukturalisme
b. Teori Strukturalisme
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoretisi Formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istiiah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (Abrains, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik (yang berpandangan babwa karya sastra adalab tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang) dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembng secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme (di bidang matematika, logika. fisika. biologi, psikologi, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya) dapat dipersatukan dengan adanya pembaharuan dalam ilmu batasa yang dirintis Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua mempunyai kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Desaussure (Bertens, 1985: 379-381).
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya mempero!eh artinya didalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi ataupun kontras dan paodi (Hartoko, 19861,: 135-135).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembangkan seni penafsiran sruktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiolkultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni (artefact) yang indah karena penggunaan bahasanyä yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi-relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14). Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah sistematis.
Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak” maka relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen seperti: ide, tema, amanat, latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa. Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra. Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan yang luas.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagal teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri ilmiah itu adalah: 1) sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori Strukturalisme sastra mengarah pada tujuan. yang jelas yakni eksplikasi tekstual; 2) sebagai metode ilmiah (scientific method), teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-Iangkah yang tertib untuk mencapai kesimpulan yang valid, yakni melalui pengkajian erosentrik; dan 3) sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan pninsip objektivitas pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok. 1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan re1evansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia. 2) karya satra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan system sastra sangat terbatas.
c. Sejarah Singkat Abu Nuwas
Abu Nuwas adalah Hasan bin Hani Abd Al-Awwal bin As-Sabah. Abu Nuwas dilahirkan di daerah Ahwaz salah satu bagian kota kazakstan di Iran pada tahun 145 H./762 M. Ayah Abu Nuwas, menurut sebagian pendapat, adalah seorang sekretaris di Syam. Sementara menurut pendapat yang lain, ayahnya adalah seorang tentara yang mengabdi kepada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah.
Pada saat melakukan ekspansi ke kota Ahwaz, ayah Abu Nuwas mempersunting seorang wanita yang akhirnya menjadi ibu Abu Nuwas. Wanita tersebut bernama Julluban, wanita asli Iran yang sangat menyukai pakaian wool di samping pandai menenun. Dijelaskan oleh Ibnu Manzhur, bahwa Julluban adalah seorang mucikari dan memiliki biro jasa untuk mengumpulkan barang-barang temuan. Orang tua Julluban adalah seorang Yaman sehingga Abu Nuwas mempunyai garis keturunan (nasab) Yaman. Hal ini diungkapkan oleh Abu Nuwas ketika ditanya apakah dia dari suku Tamim. Sepontan ia menjawab bahwa ia dari Yaman sebagaiman dalam sya’ir: “Apakah engkau dari Tamim? Sepertinya Tidak. Saya dan Bani Al-Hayyi Al-Yamani.”
Pada usia dua tahun ayahnya meninggal, sehingga ibunya mengajaknya untuk tinggal di Basrah. Demi memenuhi dahaga intelektual dan seninya, ia belajar banyak, baik ilmu-ilmu keagamaan, pemikiran, bahasa, dan sastra. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap secara intensif, fatwa dan berbagai mazhab fiqh, tafsir baik tentang nasakh dan mansukh, serta muhkam dan mutasyabihat serta hadis. Di sinilah Abu Nuwas melalui masa mudanya dengan bekerja sebagai pembuat parfum atau minyak wangi. Di sini pula Abu Nuwas mulai menampakkan kecenderungannya yang kuat terhadap bahasa, sastra dan puisi. Hal ini karena Bashrah merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Abu Nuwas sangat rajin menghadiri forum-forum ilmiah dan kajian-kajian sastra sehingga ia bisa mengambil apa saja yang dimaui.
Kehidupan Abu Nuwas di Bashrah tersebut menjadikannya sangat paham dan familier dengan budaya masyarakat Bashrah yang rasional. lbn Qutaibah menyebutkan bahwa Abu Nuwas adalah orang yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai macam pengetahuan dengan baik, di antaranya adalah ilmu perdukunan dan ilmu alam. Kemudian, Abu Nuwas mulai menjalani kehidupan gilanya, bermabuk-mabukan di waktu sepinya.
Di sini Abu Nuwas bertemu dengan Walibah bin al-Hubbab al-Asadi, salah seorang penyair cabul dan Kufah. Oleh Walibah, ia diajak berkeliling ke beberapa wilayah, dan Baghdad kemudian ke Kufah. Di tempat yang terakhir ini, ia dikenalkan Walibah dengan teman-temannya sesama penyair cabul. Ia pun belajar kepada mereka, menyerap ilmu-ilmu mereka sehingga dalam dirinya muncul kecenderungan untuk menjalani kehidupan yang rusak ini. Hal ini dimulai dengan timbulnya rasa cinta kepada Jaria yang dipanggil dengan Jinan.
Menurut Ibnu Manzhur, Jaria adalah satu-satunya wanita yang dicintai Abu Nuwas. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan abu Nuwas dengan kesediaannya menunaikan haji demi memenuhi permintaan kekasihnya itu, sebagaimana dalam syair:
“Apakah engkau tahu alangkah sia-sianya umurku, karena permintaannya, sementara permintaanya itu suift kupenuhi.
Ketika tak kudapatkan alasan untuk mendekatinya, maka terpaksa kulakukan Ini.
Aku telah menunaikan ibadah haji, dan telah kukatakan bahwa aku benar-benar telah haji, Jinan.
Akhirnya kemudahan telah menyatukan aku dengannya.”
Abu Nuwas menjalani kehidupan tradisionalnya untuk mengasah ketajaman bahasa dan kefasihan menjadi orang Arab. Setelah minta izin kepada Walibah, ia langsung bergabung dengan salah satu suku Arab badui, yaitu Bani Asad. Selama satu tahun, ia begelut dengan suku ini sebelum kemudian bergabung dengan suku lain, Halabah As-Sibaq, yang kebanyakan masyarakatnya merupakan imigran.
Setelah itu, Abu Nuwas berpindah lagi ke Bashrah sehingga berakhir sudah persahabatannya dengan Walibah. Masa itu digunakan untuk mendalami Al-Qur’an. Setelah matang, ia disuruh gurunya untuk meninggalkan Bashrah dan memilih Baghdad sebagai tempat tujuan. Begitu sampai di kota ini, ia langsung bergabung dengan masyarakat Barmakit dan serta merta ia menyebarkan sya’ir-sya’ir pujiannya untuk mendapatkan upah.
Abu Nuwas adalah salah seorang penyair yang hidup pada tiga generasi: masa khalifah Al-Mahdi (158-169 H./775-785 M.), Harun ar-Rasyid (170-193 H./786-809 M.), dan Al-Amin (198 H./ 813 M.), dimana pemerintahan Islam yang berpusat di Baghdad, khususnya pada masa ar-Rasyid mencapai puncak kejayaannya.
II. ANALISIS SYAIR
Salah satu syair taubat Abu Nawas yang cukup terkenal adalah:
يَا رَبُّ إِنْ عَظَمَتْ ذنُوُبْىِ كَثْرَةً فَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ , وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
أَدْعُوْكَ رَبُّ كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا فَإِذَا رَدَدْتَ يَدَيَّ فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا وَجَمِيْلُ عَفْوِكَ .......ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ
Wahai tuhan jika dosa-dosaku sangat banyak lagi besar, Niscaya aku tahu bahwa bahtera ampunanmu amat jauh lebih besar.
Jika tiada orang yang mengharap kepadamu kecuali orang-orang yang baik, maka kepada siapakah orang yang berbuat dosa meminta pertolongan dan perlindungan.
Aku memohon kepadamu dengan pasrah wahai tuhan seperti engkau menyuruh orang-orang untuk menyerahkan diri kepadamu
Tetapi jika engkau menolak permohonanku siapa lagikah yang akan memberikan rahmat dan kasih sayang
Tiada penguhubung antara aku dan engkau kecuali sebuah harapan dan keelokan ampunanmu…………….sehingga aku bisa menjadi Muslim yang haqiqi
a. Struktur/ Uslub
Ada beberapa uslub kalimat dalam syair ini diantaranya adalah
1. Thibaq.
Yaitu pada kalimat
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ, وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
Pada bait diatas terjadi berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat yaitu pada kata “Muhsin” dan kata “al Mujrim yang artinya Orang baik dan orang yang berdosa, dan karena kedua katanya yang berlawanan itu berbeda positif dan negatifnya maka hal ini diebut Thibaq Salab
2. Qashar
Yaitu pada kalimat:
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya orang-orang yang berharap (maqsur) adalah orang-orang yang baik saja (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya orang sebuah pengaharapan untuk orang-orang baik saja. Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi لاdan Istisna.إلا . karena pengharapan adalah sifat dan orang baik itu adalah orang yang disifati (Mausuf), maka qashar pada satar ini diebut Qosru sifat ‘ala mausuf . dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti yang berharap kepada tuhan bukan orang-orang yang baik saja maka ini disebut Qoshar Idhafi dan pada kalimat:
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya adanya interaksi diriku (maqsur) kepada engkau (tuhan) hanyalah ada ketika ada sebuah pengharapan (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya adanya interaksi aku dengan tuhan jika ada pengharapan kepada tuhan saja . Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi ماdan Istisna.إلا . Karena adanya aku adalah mausuf (yang disifati) dan pengharapan adalah sifat maka qashar pada satar ini diebut Qosru mausuf ala shifat. dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqsur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti tidak mungkin pengaharapan terebut adalah satu-satunya yang membuat dia interaki dengan tuhan maka ini disebut Qoshar Idhafi
3. Ithnab
Pada keseluruhan syair ini ditangkap bahwa syair ini mengandung uslub Ithnab, karena terkesan memboros boroskan kata untuk maksud yang sedikit, maksud dalam syair ini adalah bahwa Abu Nuwas mengakui akan dosanya yang amat besar dan mengakui bahwa samudera ampunan tuhan lebih besar dan akan selalu merahmati dan menyayangi dengan tidak membedakan status manusia itu sendiri.
4. I’jaz
Pada sepotong kalimat terakhir ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ terdapat kandungan I’jaz karena sesungguhnya makna yang terkandung di dalamnya banyak tetapi diungkapkan dengan kalimat yang sedikit, makna seharusnya pada kalimat itu adalah agar benar-benar bisa menjadi muslim yang haqiqi dan sempurna, karena bukan saja hanya untuk menjadi muslim saja seperti yang kita pahami secara leksikal dalam kalimat itu karena Abu Nuwas Sebelumnya sudah muslim hanya saja kemuslimannya kurang sempurna karena segala perangai negatif dan sifat-sifat gilanya.
5. Kalam Insyai
Pada keseluruhan syair ini ternyata ini disebut kalam insya karena semuanya tidak mengandung pengertian membenarkan dan tidak pula mendustakan, dan karena syair itu terkesan sebuah seruan/ pengaharapan atau dengan kata lain kalimat-kalimat pada syair itu digunakan untuk menghendaki keberhasilan sesuatu yang belum berhasil saat kehendak itu dikemukakan oleh karena itu kalam insya yang demikian diebut dengan kalam Insya Thalabi
b. Fikroh
Tema atau pokok pikiran pada syair ini adalah sebuah pengakuan abu Nuwas terhadap dosa-dosanya yang amat besar dan pengakuan terhadap samudera ampunan tuhan yang lebih luas dan besar yang akan selalu mengampuni dan memberikan kasih sayang tanpa membeda-bedakan siapapun hamba itu,
c. Khayal
Berbicara tentang daya khayal seorang penyair ketika membuat sebuah syair, tentu kita tidak tahu persis. Kita hanya mampu mempersepsikan secara subjektif. Menurut penulis ketika Abu Nuwas membuat syair ini daya khayalnya tertuju kepada pengagungan dan pengapresiasian kepada tuhan karena dia sangat pemurah walaupun sebesar apapun dosa hambanya sehingga dia sempat mengahayal bahwa tidak ada satupun penghubung antara dia dengan tuhannya, dia merasa terpisah dengan tuhannya kecuali satu hal yang menghubungkannya kepada tuhan yaitu pengharapannya,
d. “Athifah
Penulis yakin perasaan/ rasa yang dialami oleh Abu Nuwas ketika membuat syair ini adalah perasaan sedih, bersalah, dan penyesalan atas yang ia lakukan selama ini, perasaan sedih dan penyesalannya amat bergejolak sehingga ia mampu menciptakan syair ini yang sangat mengharukan.
Ahfa R Syach
2006
DAFTAR PUSTAKA
Al Jarim, Ali. dan Musthafa Utsman. Terjemahan Al balaghatul Wadhihah. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.
Anwari, Muhammad Hamid. Teologi Negatif Abu Nuwas. Yogyakarta: Elkis, 2001.
Anshoriyah, Siti. Al Turas: Abu Nuwas: Intelektual dan Humanitas Puisi. Jakarta: Fakultas Adab, 2004.
Taum, Yoseph Yapi. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Mardiyuana, 1997.
a. Latar belakang masalah
Mendengar nama Abu Nuwas, Muslim Indonesia dibetot oleh pandangan awal bahwa ia adalah seorang yang jenaka dan penuh kelakar. Sebuah dongeng yang sering dituturkan oleh orang-orang tua Muslim terhadap anak-anaknya. Pandangan ini sebenarnya menyederhanakan masalah. Sebab, Abu Nuwas sendiri merupakan sosok yang kontroversial, bukan hanya sebagai tokoh dan ahli bercerita jenaka. Sebaliknya, Abu Nuwas adalah seorang yang dikenal “pemberontak teologis” terhadap model Islam ortodoks.
Selain itu Abu Nuwas tidak hanya sebagai orang yang berani menentang ortodoksi (dan kalangan khalifah, agamawan dan umara’), akan tetapi ia juga dilihat sebagai orang (yang dituduh) zindiq oleh penguasa Dinasti ‘Abbasiyah. Pemberontakan yang dilakukan Abu Nuwas didorong oleh situasi di mana pada masanya, berbagai persoalan, seperti hukum, bahasa, filsafat, agama, dan politik Islam “disistematisasikan” oleh kekuasaan Dinasti ‘Abbasiyah sebagai bentuk despotisme dalam pengetahuan dan praktik politik.
Abu Nuwas juga kontroversial, karena sebagai seorang Muslim, ia banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang secara syar’i (agama) dilarang. Ia bangga untuk melakukan perbuatan perbuatan dosa kecuali syirik. Saat orang rajin shalat justru Abu Nuwas meremehkan shalat, di saat orang berlomba-lomba menunaikan ibadah haji, Abu Nuwas justru tidak begitu tertarik dengan ritual seperti itu, kecuali hajinya atas desakan seorang wanita, dan karenanya terpaksa. Bahkan Abu Nuwas menyukai minum khamar sehingga terkenal sebagai penyair khamr. Hal in tampaknya merupakan suatu kebanggaan tersendiri, terutama untuk menunjukkan eksistensi keturunan (nasab) keluarga. Khamr bagi Abu Nuwas, dijadikan kompensasi kekecewaan perasaan atau ketika merasa kosong jiwanya dan untuk menghindarkan diri dan kesibukan yang harus diselesaikannya. Khamr merupakan segala-galanya dalam kehidupannya, karena mampu menghantarkannya ke dalam suasana ekstase ke alam bayangan yang indah. Bahkan, khamr menjadi tujuan pertama hidup dan lebih daripada menjalankan perintah agama. Disamping itu, Abu Nuwas juga menyukai wanita di satu sisi, dan mencintai sesama jenis (laki-laki) di sisi lain.
Pada masa hidup Abu Nawas Masyarakat Baghdad saat itu terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang mengambil kesempatan dan memanfaatkan segala yang ada ini untuk mengumpulkan kekayaan dunia, berfoya-foya dan hedonis. Kedua, menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat yang hedonis untuk berkontemplasi, merefleksikan segala yang ada untuk menemukan jati diri. Abu Nuwas, meskipun melalui kehidupan yang pertama, pada akhirnya cenderung memilih model kehidupan yang terakhir, sebagaimana-diekspresikan dalam puisi-puisi zuhudnya (Taubat).
Kejayaan Kepenyairan Abu Nuwas menjadi sangat tersohor karena ia menjadi penyair istana dan Ar-Rasyid sendiri sangat menyukai dan sangat memperhatikan sastra dan puisi. Abu Nuwas dianggap sebagai pembaharu sastra ‘Abbasiyah karena telah banyak menemukan bentuk-bentuk puisi baru, menggunakan gaya mutakallimun, istilah-istilah filsafat dan pengetahuan ilmiah. Penemuan bentuk puisi baru dibuktikan dengan dicatatnya dia dalam sejarah sastra Arab sebagai penya’ir khamriyyat. Penggunaan gaya mutakallimun ditunjukkannya dengan kebiasaan berdebat dan berargumentasi dengan lawan bicara menyangkut keyakinan tertentu.
Banyak karyanya yang telah menjadi sejarah dan diakui oleh berbagai kalangan baik pada masa klasik maupun sampai sekarang karena keindahan dan keunikannya, baik puisi-puisi gilanya maupun puisi-puisi taubatnya di akhir hayatnya. Untuk sekedar berkarya dan meramaikan dunia sastra saya sebagai penulis merasa tertarik untuk menganalisa salah satu syair taubatnya untuk sekedar lebih memahami secara mendalam kandungan-kandungan yang tersembunyi dalam karya sastra Abu Nuwas
Banyak sekali teori yang digunakan untuk menganalisa sebuah karya sastra, seperti teori mimetik, ekspresif, pascastrukturalis, reepsi, strukturalisme dan lainnya, namun diantara teori teori tersebut ada sebuah teori yang diakui paling baik dan banyak dilakukan untuk mengkaji dan menganalisa karya sastra, teori itu bernama teori strukturalisme, maka untuk memaksimalkan kajian ini saya ingin mengkaji karya satra Abu Nuwas menggunakan teori strukturalisme
b. Teori Strukturalisme
Sebenarnya semua teori sastra sejak Aristoteles telah menekankan pentingnya pemahaman struktur dalam analisis sebuah karya sastra. Akan tetapi istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Termasuk ke dalam kelompok ini beberapa teoretisi Formalis Rusia seperti Roman Jakobson, tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istiiah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure (Abrains, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik (yang berpandangan babwa karya sastra adalab tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang) dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembng secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme (di bidang matematika, logika. fisika. biologi, psikologi, antropologi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya) dapat dipersatukan dengan adanya pembaharuan dalam ilmu batasa yang dirintis Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua mempunyai kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Desaussure (Bertens, 1985: 379-381).
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya mempero!eh artinya didalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi ataupun kontras dan paodi (Hartoko, 19861,: 135-135).
Strukturalisme Perancis, yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembangkan seni penafsiran sruktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiolkultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Strukturalisme sastra mengupayakan adanya suatu dasar yang ilmiah bagi teori sastra, sebagaimana dituntut oleh disiplin-disiplin ilmiah lainnya. Untuk itu objek penelitiannya, yakni karya sastra diidentifikasi sebagai suatu benda seni (artefact) yang indah karena penggunaan bahasanyä yang khusus. Objek studi teori strukturalisme itu ditempatkan dalam suatu sistem atau susunan relasi-relasi yang memudahkan pengaturannya. Dengan sistem ini kita menghimpun dan menemukan hubungan-hubungan yang ada dalam realitas yang diamati (Bakker, 1992: 14). Sistematika semacam ini berfungsi meletakkan aksentuasi dalam cara penanganan objek kajiannya. Dengan demikian teori strukturalisme memperkenalkan metode pemahaman karya sastra dengan langkah-langkah sistematis.
Oleh karena teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak” maka relasi-relasi struktural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam keseluruhan relasi unsur-unsur artefak itu sendiri. Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen seperti: ide, tema, amanat, latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa. Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra. Strukturalisme sastra memberi keluasan kepada peneliti sastra untuk menetapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikasi. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu tersurat dalam teks itu sendiri. Jadi teks sastra berfungsi mengontrol objektivitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menempatkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan yang luas.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagal teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri ilmiah itu adalah: 1) sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori Strukturalisme sastra mengarah pada tujuan. yang jelas yakni eksplikasi tekstual; 2) sebagai metode ilmiah (scientific method), teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-Iangkah yang tertib untuk mencapai kesimpulan yang valid, yakni melalui pengkajian erosentrik; dan 3) sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas dan dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sekalipun demikian, teori strukturalisme yang hanya menekankan otonomi dan pninsip objektivitas pada struktur karya sastra memiliki beberapa kelemahan pokok. 1) Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan re1evansi sosialnya, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia. 2) karya satra tidak dapat diteliti dalam rangka konvensi-konvensi kesusastraan sehingga pemahaman kita mengenai genre dan system sastra sangat terbatas.
c. Sejarah Singkat Abu Nuwas
Abu Nuwas adalah Hasan bin Hani Abd Al-Awwal bin As-Sabah. Abu Nuwas dilahirkan di daerah Ahwaz salah satu bagian kota kazakstan di Iran pada tahun 145 H./762 M. Ayah Abu Nuwas, menurut sebagian pendapat, adalah seorang sekretaris di Syam. Sementara menurut pendapat yang lain, ayahnya adalah seorang tentara yang mengabdi kepada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah.
Pada saat melakukan ekspansi ke kota Ahwaz, ayah Abu Nuwas mempersunting seorang wanita yang akhirnya menjadi ibu Abu Nuwas. Wanita tersebut bernama Julluban, wanita asli Iran yang sangat menyukai pakaian wool di samping pandai menenun. Dijelaskan oleh Ibnu Manzhur, bahwa Julluban adalah seorang mucikari dan memiliki biro jasa untuk mengumpulkan barang-barang temuan. Orang tua Julluban adalah seorang Yaman sehingga Abu Nuwas mempunyai garis keturunan (nasab) Yaman. Hal ini diungkapkan oleh Abu Nuwas ketika ditanya apakah dia dari suku Tamim. Sepontan ia menjawab bahwa ia dari Yaman sebagaiman dalam sya’ir: “Apakah engkau dari Tamim? Sepertinya Tidak. Saya dan Bani Al-Hayyi Al-Yamani.”
Pada usia dua tahun ayahnya meninggal, sehingga ibunya mengajaknya untuk tinggal di Basrah. Demi memenuhi dahaga intelektual dan seninya, ia belajar banyak, baik ilmu-ilmu keagamaan, pemikiran, bahasa, dan sastra. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap secara intensif, fatwa dan berbagai mazhab fiqh, tafsir baik tentang nasakh dan mansukh, serta muhkam dan mutasyabihat serta hadis. Di sinilah Abu Nuwas melalui masa mudanya dengan bekerja sebagai pembuat parfum atau minyak wangi. Di sini pula Abu Nuwas mulai menampakkan kecenderungannya yang kuat terhadap bahasa, sastra dan puisi. Hal ini karena Bashrah merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Abu Nuwas sangat rajin menghadiri forum-forum ilmiah dan kajian-kajian sastra sehingga ia bisa mengambil apa saja yang dimaui.
Kehidupan Abu Nuwas di Bashrah tersebut menjadikannya sangat paham dan familier dengan budaya masyarakat Bashrah yang rasional. lbn Qutaibah menyebutkan bahwa Abu Nuwas adalah orang yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai macam pengetahuan dengan baik, di antaranya adalah ilmu perdukunan dan ilmu alam. Kemudian, Abu Nuwas mulai menjalani kehidupan gilanya, bermabuk-mabukan di waktu sepinya.
Di sini Abu Nuwas bertemu dengan Walibah bin al-Hubbab al-Asadi, salah seorang penyair cabul dan Kufah. Oleh Walibah, ia diajak berkeliling ke beberapa wilayah, dan Baghdad kemudian ke Kufah. Di tempat yang terakhir ini, ia dikenalkan Walibah dengan teman-temannya sesama penyair cabul. Ia pun belajar kepada mereka, menyerap ilmu-ilmu mereka sehingga dalam dirinya muncul kecenderungan untuk menjalani kehidupan yang rusak ini. Hal ini dimulai dengan timbulnya rasa cinta kepada Jaria yang dipanggil dengan Jinan.
Menurut Ibnu Manzhur, Jaria adalah satu-satunya wanita yang dicintai Abu Nuwas. Hal ini dibuktikan dengan kesediaan abu Nuwas dengan kesediaannya menunaikan haji demi memenuhi permintaan kekasihnya itu, sebagaimana dalam syair:
“Apakah engkau tahu alangkah sia-sianya umurku, karena permintaannya, sementara permintaanya itu suift kupenuhi.
Ketika tak kudapatkan alasan untuk mendekatinya, maka terpaksa kulakukan Ini.
Aku telah menunaikan ibadah haji, dan telah kukatakan bahwa aku benar-benar telah haji, Jinan.
Akhirnya kemudahan telah menyatukan aku dengannya.”
Abu Nuwas menjalani kehidupan tradisionalnya untuk mengasah ketajaman bahasa dan kefasihan menjadi orang Arab. Setelah minta izin kepada Walibah, ia langsung bergabung dengan salah satu suku Arab badui, yaitu Bani Asad. Selama satu tahun, ia begelut dengan suku ini sebelum kemudian bergabung dengan suku lain, Halabah As-Sibaq, yang kebanyakan masyarakatnya merupakan imigran.
Setelah itu, Abu Nuwas berpindah lagi ke Bashrah sehingga berakhir sudah persahabatannya dengan Walibah. Masa itu digunakan untuk mendalami Al-Qur’an. Setelah matang, ia disuruh gurunya untuk meninggalkan Bashrah dan memilih Baghdad sebagai tempat tujuan. Begitu sampai di kota ini, ia langsung bergabung dengan masyarakat Barmakit dan serta merta ia menyebarkan sya’ir-sya’ir pujiannya untuk mendapatkan upah.
Abu Nuwas adalah salah seorang penyair yang hidup pada tiga generasi: masa khalifah Al-Mahdi (158-169 H./775-785 M.), Harun ar-Rasyid (170-193 H./786-809 M.), dan Al-Amin (198 H./ 813 M.), dimana pemerintahan Islam yang berpusat di Baghdad, khususnya pada masa ar-Rasyid mencapai puncak kejayaannya.
II. ANALISIS SYAIR
Salah satu syair taubat Abu Nawas yang cukup terkenal adalah:
يَا رَبُّ إِنْ عَظَمَتْ ذنُوُبْىِ كَثْرَةً فَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ , وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
أَدْعُوْكَ رَبُّ كَمَا أَمَرْتَ تَضَرُّعًا فَإِذَا رَدَدْتَ يَدَيَّ فَمَنْ ذَا يَرْحَمُ
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا وَجَمِيْلُ عَفْوِكَ .......ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ
Wahai tuhan jika dosa-dosaku sangat banyak lagi besar, Niscaya aku tahu bahwa bahtera ampunanmu amat jauh lebih besar.
Jika tiada orang yang mengharap kepadamu kecuali orang-orang yang baik, maka kepada siapakah orang yang berbuat dosa meminta pertolongan dan perlindungan.
Aku memohon kepadamu dengan pasrah wahai tuhan seperti engkau menyuruh orang-orang untuk menyerahkan diri kepadamu
Tetapi jika engkau menolak permohonanku siapa lagikah yang akan memberikan rahmat dan kasih sayang
Tiada penguhubung antara aku dan engkau kecuali sebuah harapan dan keelokan ampunanmu…………….sehingga aku bisa menjadi Muslim yang haqiqi
a. Struktur/ Uslub
Ada beberapa uslub kalimat dalam syair ini diantaranya adalah
1. Thibaq.
Yaitu pada kalimat
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ فَبِمَنْ يَلُوْذُ, وَ يَسْتَجِيْرُ اْلمُجْرِمُ
Pada bait diatas terjadi berkumpulnya dua kata yang berlawanan dalam suatu kalimat yaitu pada kata “Muhsin” dan kata “al Mujrim yang artinya Orang baik dan orang yang berdosa, dan karena kedua katanya yang berlawanan itu berbeda positif dan negatifnya maka hal ini diebut Thibaq Salab
2. Qashar
Yaitu pada kalimat:
إِنْ كَانَ لاَ يَرْجُوْكَ إِلاَّ مُحْسِنٌ
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya orang-orang yang berharap (maqsur) adalah orang-orang yang baik saja (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya orang sebuah pengaharapan untuk orang-orang baik saja. Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi لاdan Istisna.إلا . karena pengharapan adalah sifat dan orang baik itu adalah orang yang disifati (Mausuf), maka qashar pada satar ini diebut Qosru sifat ‘ala mausuf . dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti yang berharap kepada tuhan bukan orang-orang yang baik saja maka ini disebut Qoshar Idhafi dan pada kalimat:
مَالِى إِلَيْكَ وَسِيْلَةٌ إِلاَّ الرَّجَا
Dalam bait di atas terdapat sebuah pengkhususan bahwasanya adanya interaksi diriku (maqsur) kepada engkau (tuhan) hanyalah ada ketika ada sebuah pengharapan (maqsur ‘alaih), atau dengan kata lain dikhususkannya adanya interaksi aku dengan tuhan jika ada pengharapan kepada tuhan saja . Adatul qasri pada bait di atas adalah Nafyi ماdan Istisna.إلا . Karena adanya aku adalah mausuf (yang disifati) dan pengharapan adalah sifat maka qashar pada satar ini diebut Qosru mausuf ala shifat. dan karena maqsur pada kalimat ini tidak mutlak untuk muhsin (maqsur ‘alaih) saja (tidak menurut hakekat dan kenyataannya) dengan bukti tidak mungkin pengaharapan terebut adalah satu-satunya yang membuat dia interaki dengan tuhan maka ini disebut Qoshar Idhafi
3. Ithnab
Pada keseluruhan syair ini ditangkap bahwa syair ini mengandung uslub Ithnab, karena terkesan memboros boroskan kata untuk maksud yang sedikit, maksud dalam syair ini adalah bahwa Abu Nuwas mengakui akan dosanya yang amat besar dan mengakui bahwa samudera ampunan tuhan lebih besar dan akan selalu merahmati dan menyayangi dengan tidak membedakan status manusia itu sendiri.
4. I’jaz
Pada sepotong kalimat terakhir ثُمَّ أَنِّى مُسْلِمٌ terdapat kandungan I’jaz karena sesungguhnya makna yang terkandung di dalamnya banyak tetapi diungkapkan dengan kalimat yang sedikit, makna seharusnya pada kalimat itu adalah agar benar-benar bisa menjadi muslim yang haqiqi dan sempurna, karena bukan saja hanya untuk menjadi muslim saja seperti yang kita pahami secara leksikal dalam kalimat itu karena Abu Nuwas Sebelumnya sudah muslim hanya saja kemuslimannya kurang sempurna karena segala perangai negatif dan sifat-sifat gilanya.
5. Kalam Insyai
Pada keseluruhan syair ini ternyata ini disebut kalam insya karena semuanya tidak mengandung pengertian membenarkan dan tidak pula mendustakan, dan karena syair itu terkesan sebuah seruan/ pengaharapan atau dengan kata lain kalimat-kalimat pada syair itu digunakan untuk menghendaki keberhasilan sesuatu yang belum berhasil saat kehendak itu dikemukakan oleh karena itu kalam insya yang demikian diebut dengan kalam Insya Thalabi
b. Fikroh
Tema atau pokok pikiran pada syair ini adalah sebuah pengakuan abu Nuwas terhadap dosa-dosanya yang amat besar dan pengakuan terhadap samudera ampunan tuhan yang lebih luas dan besar yang akan selalu mengampuni dan memberikan kasih sayang tanpa membeda-bedakan siapapun hamba itu,
c. Khayal
Berbicara tentang daya khayal seorang penyair ketika membuat sebuah syair, tentu kita tidak tahu persis. Kita hanya mampu mempersepsikan secara subjektif. Menurut penulis ketika Abu Nuwas membuat syair ini daya khayalnya tertuju kepada pengagungan dan pengapresiasian kepada tuhan karena dia sangat pemurah walaupun sebesar apapun dosa hambanya sehingga dia sempat mengahayal bahwa tidak ada satupun penghubung antara dia dengan tuhannya, dia merasa terpisah dengan tuhannya kecuali satu hal yang menghubungkannya kepada tuhan yaitu pengharapannya,
d. “Athifah
Penulis yakin perasaan/ rasa yang dialami oleh Abu Nuwas ketika membuat syair ini adalah perasaan sedih, bersalah, dan penyesalan atas yang ia lakukan selama ini, perasaan sedih dan penyesalannya amat bergejolak sehingga ia mampu menciptakan syair ini yang sangat mengharukan.
Ahfa R Syach
2006
DAFTAR PUSTAKA
Al Jarim, Ali. dan Musthafa Utsman. Terjemahan Al balaghatul Wadhihah. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994.
Anwari, Muhammad Hamid. Teologi Negatif Abu Nuwas. Yogyakarta: Elkis, 2001.
Anshoriyah, Siti. Al Turas: Abu Nuwas: Intelektual dan Humanitas Puisi. Jakarta: Fakultas Adab, 2004.
Taum, Yoseph Yapi. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Mardiyuana, 1997.