Cantik dan anggun sekali dirimu, menghiasi media belakangan ini, selalu muncul di saluran yang kutonton, menunjukkan dan membuat kami takjub akan keindahanmu, memperdengarkan kami kemerduan tutur suaramu, menghipnotis kami lewat lentik lirikanmu, membuat kami iri kepada para pejabat Negara, memiriskan hati kami tentang rutinitas para koruptor, dan membuat kami benci kepada ulah para pemimpin.
Harta, tahta, wanita benar adanya sebuah kebutuhan duniawi, tiga hal yang akan melenakan manusia akan tugas, kewajiban, amanah, serta etika moral. Apa ada yang lebih indah kecuali wanita di dunia?, dialah perhiasan dunia paling indah diantara gemerlap perhiasan lainnya. Wanita takkan pernah terlewatkan, tak akan tergantikan, tak ada yang bisa melebihi pancaran dan stimulannya, eksistensinya tak akan pernah bosan membuat para mata adam terlena berkedip.
Harta secara mendasar adalah orientasi fundamental manusia, kata marx; yang melatar belakangi hiruk-pikuk manusia adalah dorongan ekonomi. Mereka akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Banyak manusia cukup atau dan kurang sejahtera karena sebegitulah kemampuan dan peluang mereka, berbeda lagi jika mereka punya “kesempatan”.
Siapa yang tidak terlena dan tidak terhipnotis harta?, apalagi jika kita memiliki “kesempatan”, kesempatan untuk mengeruk rizki yang bersifat, syubhat, tidak berkah, atau haram. Akan selalu muncul rangsangan dan keinginan untuk menumpuk harta. Sudah banyak, namun akan terasa masih sedikit dan kurang. Terus menumpuk harta untuk kepuasan batin, menjalani hidup dengan ringan karena tersenjatai harta, semua bisa kita akses dan kita miliki, bisa mencari fasilitas paling nyaman dan kesenangan apapun, paling tidak kita terlepas dari beban mendasar manusia yaitu beban memiliki kebutuhan. Orang yang tidak korupsi belum teruji kekuatan imannya, karena mereka tidak memiliki kesempatan, jika ada kesempatan, mungkin semua mental dan naluri kejujuran dan kebenaran akan terkikis. Mereka yang lulus adalah yang memiliki kesempatan namun tidak memanfaatkannya.
Tahta sudah menjadi komoditas, diperjuangkan, dan diperebutkan oleh banyak khalayak, digapai dengan cara-cara yang sudah tidak lagi berbasis profesionalisme, kebenaran, dan nilai-nilai ideal. Tahta adalah ajang manusia untuk menggapai harga diri, lagi-lagi kebutuhan mendasar psikologis manusia. Kebiasaan sosial telah menempatkan tahta sebagai dasar manusia dianggap berhasil dan berprestasi yang selanjutnya melahirkan eksistensi sosial. Masyarakat sosial telah lupa tentang prose, proses buruk bagaimana hasil yang besar itu mereka capai, dan melupakan proses-proses sejati yang tidak melahirkan hasil-hasil yang prestisius. Kita akan bangga dengan tahta kita. Tahta akan menyamankan kita sebagai sumber penghormatan dan pengakuan, sumber-sumber kekayaan dan kemewahan. Tak ada lagi status rezeki, (syubhat, tidak berkah dan haram), yang ada hanya analogi untuk melegalkan secara status hukum harta kita, hukum agama maupun hukum Negara, tidak ada lagi kepedulian terhadap rakyat yang sejatinya merupakan amanah dan tanggung jawabnya. Kalian adalah kalian, aku adalah aku, kita cari rezeki dengan cara kita masing-masing, dengan intrik kita masing-masing, tidak ada lagi konsep tanggung jawab, tidak berlaku lagi perkara-perkara ideal kepemimpinan, jabatan adalah prestasi dan media menyenangkan diri, bukan lagi jabatan adalah amanah untuk memelihara rakyat.
Wanita dengan keindahannya adalah perhiasan dan ujian bagi kita, kalau diatas saya mengutip sekilas pemikiran karl marx, maka dalam sesi wanita ini, saya mengutip pemikiran Sigmund freud, bahwa semua hiruk pikuk manusia disebabkan oleh dorongan libidonya. Bisa dikatakan orientasi manusia adalah bermuara kepada seks. Fenomena tertutup dan masif seks remaja-remaja kita sekarang adalah bukti itu, hiruk pikuk sosial (rutinitas ekonomi) diluar sana berkonteks rumah tangga yang merupakan tempat pelampiasan seksual. Maka fenomana yang terjadi pada wilayah pejabat, setelah memiliki harta dan tahta yang dicari adalah wanita. Tidak mengenal siapapun dia, apakah berasal dari partai berplatform agama atau nasionalis, bergaya religius ataupun tidak, bertampang alim ataupun tidak, wanita adalah kebutuhan bersama, siapapun kita, tak mengenal status atau golongan, tak mengenal kesan dan citra yang dilebelkan oleh masyarakat. Kita berada di garis yang sama tentang sebuah wanita. Jika kita tidak membenarkan ini, maka kita mempercayai sebuah kemunafikan dan terjajah oleh fenomena pencitraan.
Benar bahwa semua kesenangan adalah manusiwi, namun apakah kita lupa bahwa tujuan tuhan menciptakan kehidupan adalah sebagai ujian, “hidup adalah ujian” kita diuji untuk pengendalian diri, untuk meredam hawa nafsu, menjaga keinginan dan ego, bahkan rasul tuhan pernah berstatement; jihad paling besar adalah menahan hawa nafsu….
Sejatinya, hati adalah wajah lain dari nafs (jiwa), maka dari itu hati atau jiwa manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an: Menurut al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota jiwa dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak)
Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an:
Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.
Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.
Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Bergiatlah untuk berusaha menahan diri, karena itu merupakan jihad dan senjata terampuh menahan godaan hidup.
Namun dalam beberapa hal saya menganggap fenomena ini adalah dilematika. Laki-laki secara psikoseksual memang memiliki kecenderungan untuk menyukai dan menikmati banyak perempuan, dan mereka mengekspresikannya secara sah, terbukti dengan banyaknyafenomena poligami dan nikah siri. Banyak pejabat mengekspresikan kebutuhan seksualnya dengan cara ini, walau ada dilema juga ditengah tengah dilema ini (dilema di dalam dilema), bahwa; “banyak orang menyalahi substansi utama sebuah pernikahan”. Banyak orang mencari kesenangan berkedok agama, dengan cara memanfaatkan celah-celah agama, seperti nikah siri. Hanya tuhan yang tahu apakah boleh kita melakukan sebuah ritual pernikahan yang sah sesuai agama dengan maksud kesenangan belaka, dan kita berpisah/ bercerai ketika telah puas. Hal semacam itu menjadi ide pragmatis bagi pejabat kita ketika sudah bergelimang harta, dalam rangka mengekspresikan syahwat dengan cara halal daripada terhalangi beban jiwa dan terjerumus kepada perilaku dosa. Toh wanita mana yang tak tergiur dengan tawaran dan iming-iming harta?, ditengah minimnya kesejahteraan dan meningkatnya tuntutan serta kebutuhan hidup…..
Ahfa Rahman
2013
Harta, tahta, wanita benar adanya sebuah kebutuhan duniawi, tiga hal yang akan melenakan manusia akan tugas, kewajiban, amanah, serta etika moral. Apa ada yang lebih indah kecuali wanita di dunia?, dialah perhiasan dunia paling indah diantara gemerlap perhiasan lainnya. Wanita takkan pernah terlewatkan, tak akan tergantikan, tak ada yang bisa melebihi pancaran dan stimulannya, eksistensinya tak akan pernah bosan membuat para mata adam terlena berkedip.
Harta secara mendasar adalah orientasi fundamental manusia, kata marx; yang melatar belakangi hiruk-pikuk manusia adalah dorongan ekonomi. Mereka akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Banyak manusia cukup atau dan kurang sejahtera karena sebegitulah kemampuan dan peluang mereka, berbeda lagi jika mereka punya “kesempatan”.
Siapa yang tidak terlena dan tidak terhipnotis harta?, apalagi jika kita memiliki “kesempatan”, kesempatan untuk mengeruk rizki yang bersifat, syubhat, tidak berkah, atau haram. Akan selalu muncul rangsangan dan keinginan untuk menumpuk harta. Sudah banyak, namun akan terasa masih sedikit dan kurang. Terus menumpuk harta untuk kepuasan batin, menjalani hidup dengan ringan karena tersenjatai harta, semua bisa kita akses dan kita miliki, bisa mencari fasilitas paling nyaman dan kesenangan apapun, paling tidak kita terlepas dari beban mendasar manusia yaitu beban memiliki kebutuhan. Orang yang tidak korupsi belum teruji kekuatan imannya, karena mereka tidak memiliki kesempatan, jika ada kesempatan, mungkin semua mental dan naluri kejujuran dan kebenaran akan terkikis. Mereka yang lulus adalah yang memiliki kesempatan namun tidak memanfaatkannya.
Tahta sudah menjadi komoditas, diperjuangkan, dan diperebutkan oleh banyak khalayak, digapai dengan cara-cara yang sudah tidak lagi berbasis profesionalisme, kebenaran, dan nilai-nilai ideal. Tahta adalah ajang manusia untuk menggapai harga diri, lagi-lagi kebutuhan mendasar psikologis manusia. Kebiasaan sosial telah menempatkan tahta sebagai dasar manusia dianggap berhasil dan berprestasi yang selanjutnya melahirkan eksistensi sosial. Masyarakat sosial telah lupa tentang prose, proses buruk bagaimana hasil yang besar itu mereka capai, dan melupakan proses-proses sejati yang tidak melahirkan hasil-hasil yang prestisius. Kita akan bangga dengan tahta kita. Tahta akan menyamankan kita sebagai sumber penghormatan dan pengakuan, sumber-sumber kekayaan dan kemewahan. Tak ada lagi status rezeki, (syubhat, tidak berkah dan haram), yang ada hanya analogi untuk melegalkan secara status hukum harta kita, hukum agama maupun hukum Negara, tidak ada lagi kepedulian terhadap rakyat yang sejatinya merupakan amanah dan tanggung jawabnya. Kalian adalah kalian, aku adalah aku, kita cari rezeki dengan cara kita masing-masing, dengan intrik kita masing-masing, tidak ada lagi konsep tanggung jawab, tidak berlaku lagi perkara-perkara ideal kepemimpinan, jabatan adalah prestasi dan media menyenangkan diri, bukan lagi jabatan adalah amanah untuk memelihara rakyat.
Wanita dengan keindahannya adalah perhiasan dan ujian bagi kita, kalau diatas saya mengutip sekilas pemikiran karl marx, maka dalam sesi wanita ini, saya mengutip pemikiran Sigmund freud, bahwa semua hiruk pikuk manusia disebabkan oleh dorongan libidonya. Bisa dikatakan orientasi manusia adalah bermuara kepada seks. Fenomena tertutup dan masif seks remaja-remaja kita sekarang adalah bukti itu, hiruk pikuk sosial (rutinitas ekonomi) diluar sana berkonteks rumah tangga yang merupakan tempat pelampiasan seksual. Maka fenomana yang terjadi pada wilayah pejabat, setelah memiliki harta dan tahta yang dicari adalah wanita. Tidak mengenal siapapun dia, apakah berasal dari partai berplatform agama atau nasionalis, bergaya religius ataupun tidak, bertampang alim ataupun tidak, wanita adalah kebutuhan bersama, siapapun kita, tak mengenal status atau golongan, tak mengenal kesan dan citra yang dilebelkan oleh masyarakat. Kita berada di garis yang sama tentang sebuah wanita. Jika kita tidak membenarkan ini, maka kita mempercayai sebuah kemunafikan dan terjajah oleh fenomena pencitraan.
Benar bahwa semua kesenangan adalah manusiwi, namun apakah kita lupa bahwa tujuan tuhan menciptakan kehidupan adalah sebagai ujian, “hidup adalah ujian” kita diuji untuk pengendalian diri, untuk meredam hawa nafsu, menjaga keinginan dan ego, bahkan rasul tuhan pernah berstatement; jihad paling besar adalah menahan hawa nafsu….
Sejatinya, hati adalah wajah lain dari nafs (jiwa), maka dari itu hati atau jiwa manusia itu bertingkat-tingkat. Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an: Menurut al-Ghazzali disebut tentara hati (junud al-qalbi). Anggota jiwa dalam al-Qur’an diantaranya adalah qalb (hati), ruh (roh), aql (akal) dan iradah (kehendak)
Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an:
Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.
Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.
Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Bergiatlah untuk berusaha menahan diri, karena itu merupakan jihad dan senjata terampuh menahan godaan hidup.
Namun dalam beberapa hal saya menganggap fenomena ini adalah dilematika. Laki-laki secara psikoseksual memang memiliki kecenderungan untuk menyukai dan menikmati banyak perempuan, dan mereka mengekspresikannya secara sah, terbukti dengan banyaknyafenomena poligami dan nikah siri. Banyak pejabat mengekspresikan kebutuhan seksualnya dengan cara ini, walau ada dilema juga ditengah tengah dilema ini (dilema di dalam dilema), bahwa; “banyak orang menyalahi substansi utama sebuah pernikahan”. Banyak orang mencari kesenangan berkedok agama, dengan cara memanfaatkan celah-celah agama, seperti nikah siri. Hanya tuhan yang tahu apakah boleh kita melakukan sebuah ritual pernikahan yang sah sesuai agama dengan maksud kesenangan belaka, dan kita berpisah/ bercerai ketika telah puas. Hal semacam itu menjadi ide pragmatis bagi pejabat kita ketika sudah bergelimang harta, dalam rangka mengekspresikan syahwat dengan cara halal daripada terhalangi beban jiwa dan terjerumus kepada perilaku dosa. Toh wanita mana yang tak tergiur dengan tawaran dan iming-iming harta?, ditengah minimnya kesejahteraan dan meningkatnya tuntutan serta kebutuhan hidup…..
Ahfa Rahman
2013