Perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat, bukan hanya ilmu eksak, teknologi, dan ilmu-ilmu humaniora, tetapi ilmu kejiwaaan (psikologi) juga terus berkembang membuka tabir rahasia-rahasia individual untuk perbaikan kehidupan manusia. Implementasi dari ilmu ini dapat digunakan untuk banyak bidang, salah satunya adalah pendidikan terhadap anak, agar mereka mempunyai bekal fisik dan mental yang baik untuk menuju masa depan mereka.
Beberapa waktu lalu saya melakukan survei pilpres di Kec. Pangatikan, Kab. Garut, tepatnya di desa Sukahurip. Di desa tersebut ternyata sedang dilaksanaka program PAUD, (Pendidikan Anak Usia Dini) sebuah program yang salah satunya bertujuan untuk menstimulasi perkembangan otak anak pada masa keemasan (Golden Age), yaitu dari umur 0 hingga 6 tahun. Program dan kegiatan tersebut sudah banyak terdapat di kota-kota besar yang sering kita temukan, misalnya playgroup, dll. Pada kali ini Depdiknas bekerjasama dengan World Bank lebih memprioritaskan untuk balita-balita desa dengan format dan sistem tertentu dengan pemilihan lokasi (desa) berdasarkan pertimbangan populasi. Hal ini tidak lain adalah sebuah usaha agar seluruh anak indonesia menjadi anak yang sehat secara fisik dan mental, serta kecerdasan otak yang baik.
Sudah jelas sekali bahwa dalam mendidik anak terdapat teori dan cara-cara tertentu, yang harus dikuasai oleh orang tua sehingga mereka mampu menghasilkan anak-anak yang cerdas dan berkualitas. Banyak sekali sekarang anak-anak yang tumbuh dengan berbagai kelemahan dan kekurangan yang tak lain disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan orang tua akan teori, cara, dan tips-tips dalam mendidik anak.
Ilmu psikologi itu sendiri khususnya pada bidang pendidikan anak merupakan ilmu modern yang mulai dimengerti atau paling tidak sedikit diketahui oleh orang tua zaman sekarang. Orang tua zaman dulu belum terlalu mengerti ilmu ini sehingga mereka menerapkan pendidikan anak yang salah, apalagi orang tua zamana dulu terkesan berwatak keras (tempramental) sehingga pendidikan keras itu tidak sedikit merusak mental anak-anak. Terlepas dari periodesasi orang tua diatas, secara umum kesalahan mendidik anak bukan hanya dilakukan oleh orang tua zaman dulu, tetapi lebih disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan sikap tempramental sebagian orang tua.
Minimnya pengetahuan mendidik anak sebenarnya lebih berimplikasi kepada kurang maksimalnya kerja otak, Potensi-potensi yang ada dan hal-hal disekitar itu. Namun ada satu hal yang lebih berbahaya daripada sebab tadi, Yaitu pendidikan yang terlalu keras atau kekerasaan terhadap anak. Dua hal tersebut memang berbeda tipis jika dilihat aplikasinya, tetapi yang saya lihat dampak negatif dari dua hal itu sama, yaitu merusak mental dan psikis anak-anak.
Pendidikan yang terlalu keras dan kekerasan seperti suka memarahi, mengintimidasi, membentak, bahkan memukul (menghajar), dapat berimplikasi kepada dua kemungkinan, pertama, anak itu menjadi manusia yang galak, keras, bahkan bisa menjadi psikopat, kedua, anak itu bermasalah secara mental dan kejiwaan, seperti; mudah tertekan, suka murung, tidak percaya diri, traumatis, susah bergaul, paranoid, emosional yang tidak stabil, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tentu mengganggu perjalanan dan kehidupan mereka ketika dewasa, terutama kemungkinan kedua di atas. Saya banyak menemui anak-anak mengalami kejiwaaan seperti ini akibat kekerasaan orang tua. Mereka terlihat sangat berbeda dan terkesan kurang normal daripada anak-anak disekitarnya. Hal ini sangat disayangkan, karena seorang anak yang seharusnya bahagia dan mampu mengejar masa depannya dengan baik, mereka malah terbelenggu oleh masalah psikis sehingga keseharian mereka diwarnai oleh ketidakbahagiaan dan masa depannya terganggu oleh hal-hal tersebut.
Ada dua hal yang menurut hemat saya melatar belakangi pendidikan keras terhadap anak. Pertama, sifat asli orang tua yang pemarah atau tempramental. Sifat seperti ini identik dengan orang tua zaman dulu yang mendidik anaknya terlalu keras atau memang punya kepribadian pemarah dan galak. Orang tua semacam ini tidak memberikan ruang gerak yang lebar untuk berkreasi dan cenderung suka marah walaupun anak-anak itu melakukan kesalahan sepele. Sehingga pada akhirnya potensi anak kurang berkembang dan mereka selalu diliputi rasa takut dan tertekan. Yang kedua adalah memiliki prinsip untuk mendidik keras, biasanya hal ini ditujukan oleh orang tua agar mereka mampu menjadi anak yang ulet dan tahan banting. Prinsip itu bisa saja muncul dari agama, seperti anak harus dipukul jika tidak mau shalat pada umur 10 tahun, bisa juga metode pendidikan turun-temurun, mitos, dan lain sebagainya. Seperti contoh ada orang tua yang berprinsip; anak harus terbiasa susah agar dia mau bekerja keras dan menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam hal ini orang tua harus menyadari bahwa pendidikan dan prinsip semacam itu sudah tidak relevan lagi. Berbeda dengan anak zaman dahulu, anak-anak sekarang terkesan lebih lemah dan manja karena mereka sekarang berada pada lingkungan yang aman dan nyaman. Berbeda sekali dengan beberapa dekade sebelumnya yaitu masa penjajahan dan penindasan, sehingga secara alami anak-anak pada masa itu sudah siap dan terbiasa dengan keadaan itu. Kholifath “Ali Bin Abi Thalib” RA. pernah berkata “Didiklah Anakmu Sesuai Dengan Zamannya” dan menurut saya pada zaman sekarang pendekatan yang paling tepat untuk mendidik anak adalah pendidkan menurut ilmu psikologi (pendidikan anak), yang sudah banyak sekali ditulis dan mudah diakses oleh siapapun.
Jadi kesimpulannya, sudah tidak relevan lagi pendidikan yang terlalu keras dan tidak seharusnya orang tua memiliki sifat keras dan tempramental dalam mendidik anak. beberapa waktu yang lalu kak Seto (ketua komnas perlindungan anak) mencanangkan gerakan anti kekerasan kepada anak. Dia mengatakan; "sudah tidak relevan lagi mendidik anak dengan cara menjewer, memarahi, memukul, dll". Menjadi orang tua harus dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Karena menurut pengamatan saya, anak yang dibesarkan oleh orang tua penyabar lebih bahagia dan lebih normal daripada dibesarkan oleh orang tua pemarah dan keras. Hendaknya mendidik anak mengambil posisi tengah, orang tua tidak boleh terlalu keras ataupun memanjakannya, hanya dengan itulah anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang matang, normal dan menjadi generasi yang sehat dan bahagia.
Ahfa R Syach
2009
Beberapa waktu lalu saya melakukan survei pilpres di Kec. Pangatikan, Kab. Garut, tepatnya di desa Sukahurip. Di desa tersebut ternyata sedang dilaksanaka program PAUD, (Pendidikan Anak Usia Dini) sebuah program yang salah satunya bertujuan untuk menstimulasi perkembangan otak anak pada masa keemasan (Golden Age), yaitu dari umur 0 hingga 6 tahun. Program dan kegiatan tersebut sudah banyak terdapat di kota-kota besar yang sering kita temukan, misalnya playgroup, dll. Pada kali ini Depdiknas bekerjasama dengan World Bank lebih memprioritaskan untuk balita-balita desa dengan format dan sistem tertentu dengan pemilihan lokasi (desa) berdasarkan pertimbangan populasi. Hal ini tidak lain adalah sebuah usaha agar seluruh anak indonesia menjadi anak yang sehat secara fisik dan mental, serta kecerdasan otak yang baik.
Sudah jelas sekali bahwa dalam mendidik anak terdapat teori dan cara-cara tertentu, yang harus dikuasai oleh orang tua sehingga mereka mampu menghasilkan anak-anak yang cerdas dan berkualitas. Banyak sekali sekarang anak-anak yang tumbuh dengan berbagai kelemahan dan kekurangan yang tak lain disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan orang tua akan teori, cara, dan tips-tips dalam mendidik anak.
Ilmu psikologi itu sendiri khususnya pada bidang pendidikan anak merupakan ilmu modern yang mulai dimengerti atau paling tidak sedikit diketahui oleh orang tua zaman sekarang. Orang tua zaman dulu belum terlalu mengerti ilmu ini sehingga mereka menerapkan pendidikan anak yang salah, apalagi orang tua zamana dulu terkesan berwatak keras (tempramental) sehingga pendidikan keras itu tidak sedikit merusak mental anak-anak. Terlepas dari periodesasi orang tua diatas, secara umum kesalahan mendidik anak bukan hanya dilakukan oleh orang tua zaman dulu, tetapi lebih disebabkan oleh minimnya pengetahuan dan sikap tempramental sebagian orang tua.
Minimnya pengetahuan mendidik anak sebenarnya lebih berimplikasi kepada kurang maksimalnya kerja otak, Potensi-potensi yang ada dan hal-hal disekitar itu. Namun ada satu hal yang lebih berbahaya daripada sebab tadi, Yaitu pendidikan yang terlalu keras atau kekerasaan terhadap anak. Dua hal tersebut memang berbeda tipis jika dilihat aplikasinya, tetapi yang saya lihat dampak negatif dari dua hal itu sama, yaitu merusak mental dan psikis anak-anak.
Pendidikan yang terlalu keras dan kekerasan seperti suka memarahi, mengintimidasi, membentak, bahkan memukul (menghajar), dapat berimplikasi kepada dua kemungkinan, pertama, anak itu menjadi manusia yang galak, keras, bahkan bisa menjadi psikopat, kedua, anak itu bermasalah secara mental dan kejiwaan, seperti; mudah tertekan, suka murung, tidak percaya diri, traumatis, susah bergaul, paranoid, emosional yang tidak stabil, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut tentu mengganggu perjalanan dan kehidupan mereka ketika dewasa, terutama kemungkinan kedua di atas. Saya banyak menemui anak-anak mengalami kejiwaaan seperti ini akibat kekerasaan orang tua. Mereka terlihat sangat berbeda dan terkesan kurang normal daripada anak-anak disekitarnya. Hal ini sangat disayangkan, karena seorang anak yang seharusnya bahagia dan mampu mengejar masa depannya dengan baik, mereka malah terbelenggu oleh masalah psikis sehingga keseharian mereka diwarnai oleh ketidakbahagiaan dan masa depannya terganggu oleh hal-hal tersebut.
Ada dua hal yang menurut hemat saya melatar belakangi pendidikan keras terhadap anak. Pertama, sifat asli orang tua yang pemarah atau tempramental. Sifat seperti ini identik dengan orang tua zaman dulu yang mendidik anaknya terlalu keras atau memang punya kepribadian pemarah dan galak. Orang tua semacam ini tidak memberikan ruang gerak yang lebar untuk berkreasi dan cenderung suka marah walaupun anak-anak itu melakukan kesalahan sepele. Sehingga pada akhirnya potensi anak kurang berkembang dan mereka selalu diliputi rasa takut dan tertekan. Yang kedua adalah memiliki prinsip untuk mendidik keras, biasanya hal ini ditujukan oleh orang tua agar mereka mampu menjadi anak yang ulet dan tahan banting. Prinsip itu bisa saja muncul dari agama, seperti anak harus dipukul jika tidak mau shalat pada umur 10 tahun, bisa juga metode pendidikan turun-temurun, mitos, dan lain sebagainya. Seperti contoh ada orang tua yang berprinsip; anak harus terbiasa susah agar dia mau bekerja keras dan menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam hal ini orang tua harus menyadari bahwa pendidikan dan prinsip semacam itu sudah tidak relevan lagi. Berbeda dengan anak zaman dahulu, anak-anak sekarang terkesan lebih lemah dan manja karena mereka sekarang berada pada lingkungan yang aman dan nyaman. Berbeda sekali dengan beberapa dekade sebelumnya yaitu masa penjajahan dan penindasan, sehingga secara alami anak-anak pada masa itu sudah siap dan terbiasa dengan keadaan itu. Kholifath “Ali Bin Abi Thalib” RA. pernah berkata “Didiklah Anakmu Sesuai Dengan Zamannya” dan menurut saya pada zaman sekarang pendekatan yang paling tepat untuk mendidik anak adalah pendidkan menurut ilmu psikologi (pendidikan anak), yang sudah banyak sekali ditulis dan mudah diakses oleh siapapun.
Jadi kesimpulannya, sudah tidak relevan lagi pendidikan yang terlalu keras dan tidak seharusnya orang tua memiliki sifat keras dan tempramental dalam mendidik anak. beberapa waktu yang lalu kak Seto (ketua komnas perlindungan anak) mencanangkan gerakan anti kekerasan kepada anak. Dia mengatakan; "sudah tidak relevan lagi mendidik anak dengan cara menjewer, memarahi, memukul, dll". Menjadi orang tua harus dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Karena menurut pengamatan saya, anak yang dibesarkan oleh orang tua penyabar lebih bahagia dan lebih normal daripada dibesarkan oleh orang tua pemarah dan keras. Hendaknya mendidik anak mengambil posisi tengah, orang tua tidak boleh terlalu keras ataupun memanjakannya, hanya dengan itulah anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang matang, normal dan menjadi generasi yang sehat dan bahagia.
Ahfa R Syach
2009