Masih terngiang film ini yang kutonton semalam hingga pagi, sangat dahsyat dan mencengangkan. Saya sangat menikmati akting Titi Sjuman “Rayya” dan Tio Pakusadewo “Arya”, mereka cukup menunjukkan kelasnya sebagai barisan pemain film top Indonesia. Sebagian besar film hanya memaparkan perjalanan dan tingkah mereka berdua, namun 2 karakter itu sangat kuat dan mampu memberikan alur cerita yang sangat menarik dan manis.
Film ini mencoba merekontruksi pemahaman-pemahaman umum yang dianut kebanyakan masyarakat. Film ini mengisahkan perjalanan pemotretan seorang artis top papan atas “Rayya” bersama fotografer “Arya” dari satu tempat menuju tempat yang lain (Jakarta-Bali) yang dikuti drama-drama dan dialog-dialog yang sedikit berbau teatrikal.
Dalam film ini kita disuguhkan seorang Rayya dengan karakternya yang neurotis dan depresif. Deceritakan bahwa Rayya sedang mengalami patah hati akut karena masalah cinta dengan kekasihnya. Jiwanya sangat labil dan banyak mengekspresikan kekesalan dan amarah. Kita betul betul akan dibuat jengkel dengan karakter Rayya pada paruh pertama film ini. Berbeda dengan Arya, disini dia digambarkan berkarakter bijaksana, dewasa, penyabar, dan pemaklum.
Bagaikan Perjalanan Wisata, Perjalanan fotografi mereka mendatangi banyak tempat eksotis dan indah untuk melakukan pemotretan. Banyak dialog-dialog renungan yang muncul dalam perjalanan mereka, bahkan pada sesi pemotretan suasana dialog lebih kuat dan menonjol daripada suasana pemotretan itu sendiri. Rayya dengan kerapuhan dan dendamnya meratap dan berwacana seperti orang depresif. Ungkapannya penuh amarah dan kerapuhan, mentalnyapun sangat labil, tidak jarang kita melihat perubahan mental yang drastis; menangis, tertawa, meratap, semua bertumpuk menjadi satu. Arya disini menjadi lawan bicara yang bijaksana, lebih memaklumi, mendengarkan dan memberi respon dengan lontaran dialog yang dewasa dan lebih arif. Sikapnypun lebih mengalah dan memaklumi atas perilaku Rayya yang seenaknya. Fakta bahwa mereka ternyata sama-sama memiliki masa lalu cinta yang kelam membuat mereka semakin akrab dalam berdialog dan berkeluh kesah. Dalam perjalanan itu pula mereka melihat dan berinteraksi dengan beragam kondisi masyarakat (masyarakat pinggiran) dalam sejuta rutinitas dan wataknya yang sangat berbeda dengan watak masyarakat metropolitan. Pemandangan-pemandangan sosial, cara pandang, dan mental masyarakat itu menyadarkan mereka terutama Rayya tentang nilai-nilai baru, fakta-fakta, dan makna-makna lain dalam suatu hal. Fakta-fakta dan pandangan yang meruntuhkan penyimpulan-penyimpualan umum yang selama ini dianut oleh kebanyakan masyarakat. Bisa dinggap pula ini adalah kisah perjalanan Rayya mencari jati diri atau makna lain dari kebahagiaan dengan ditemani dan dimentori oleh Arya. Pada awal cerita mungkin emosi kita sibuk melihat watak dan kegilaan Rayya, namun semakin berjalan kita akan menemukan haru, kemistri, bahkan kemesraan yang dibangun oleh mereka berdua. Film ini adalah luapan emosi, dialog dan perenungan terhadap geliat sosial dalam cerita-cerita yang muncul di setiap tempat yang dikunjunginya. Cerita berakhir pada perjalanan pemotretan di Bali, dimana terjadi perceraian Arya dengan istrinya dan perpisahan Rayya dengan pacarnya lalu ditutup dengan narasi Rayya akan intisari refleksi perjalanannya.
Saya melihat film ini ingin meruntuhkan pemahaman dan penyimpulan sederhana yang dianut oleh banyak masyarakat, Bahwa kegemerlapan kemewahan tidaklah mengidentikkan sebuah kebahagiaan. Pada hakikatnya, apa yang kita lihat hanyalah bentuk luarnya saja, dan hal itu tidaklah mencerminkan kebenaran hakikinya. Kegemerlapan dan keindahan yang nampak pada lahirnya belum tentu memiliki kualitas sama pada “dalam” nya. Yang kita lihat oleh mata telanjang kita semuanya hanyalah kedok, hanyalah tirai yang menutupi akan isi sebenarnya ruangan dan sesuatu itu, film ini ingin mengokohkan bahwa kebahagiaan tidak bisa selalu diukur oleh materi dan popularitas, namun diukur melalui ketenangan dan kedamaian jiwa manusia itu sendiri. film ini juga ingin mengatakan bahwa kehebatan dan keistimewaan itu bukanlah ketika kita memiliki profesi atau status yang elit dan bergengsi, semua keadaan atau pekerjaan apapun memiliki nilai yang sama, Yang menjadi patokan penilaian bukanlah bergengsinya atau elitnya posisi kita dalam keberagaman kondisi sosial, namun bagaimana kita bisa menerima keadaan kita, mau bekerja keras dalam peluang kita, Bagaimana kita mau berbuat dalam keterbatasan kita, dan bagaimana kita menjunjung keluhuran dan kehormatan pada kesempatan yang kita miliki. Selain itu film ini juga berpesan bahwa bahwa semua manusia dalam segala profesinya, kedudukannya, keadaannya adalah sama, tidak ada derajat yang membedakan. Makna perbedaan sebenarnya adalah “mereka berjalan pada jalannya masing masing”. Konsep kehidupan adalah keberagaman dalam fungsi sosial. Jika ada satu profesi/ fungsi yang tidak ada maka tidak akan terjadi harmonisasi dan stabilitas ketergantungan dalam kehidupan ini. Karena pada faktanya satu kondisi/fungsi akan selalu membutuhkan kondisi/ fungsi yang lain. Entah seberapa rendahnya fungsi tersebut kita pasti membutuhkannya, walaupun itu hanyalah “pemecah batu sungai”. Jika ternyata fungsi beragam profesi manusia itu sama pentingnya maka tidak ada alasan untuk menciptakan kelas atau derajat profesi. Jika muncul kelas-kelas dalam profesi dan kedudukan manusia sepert martabat pekerjaan atau kehormatan atau apalah, maka itu hanyalah produk penyimpulan sosial yang tidak bijaksana dan yang tertipu oleh fenomena “kemasan”. Karena pada faktanya semua manusia dalam setiap status dan keadannya memiliki kelebihan dan kekuarangan masing2, memiliki kemudahan dan kesulitannya masing2. Jika demikian maka profesi dan kedudukan bukanlah ukuran, yang menjadi ukuran adalah ketenangan batin itu sendiri, kebahagiaan sejati adalah jika kita bisa menikmati kebahagian yang kita miliki. Lihatlah seorang Rayya, tokoh dengan popularitas tinggi, dengan kekayaan, talent dan kecantikannya lalu bagaimana dia diidentikkan dengan cahaya, ternyata dia mengakui kalau dirinya hanyalah kegelapan, seorang perempuan yang terjebak pada siksaan cinta. Bahkan pada akhir cerita dia bernarasi sesunggguhnya masyarakat-masyarakat kecil itulah yang patut diidentikkan dengan cahaya karena kerja keras dalam keterbatasannya, kekuatannya, tekadnya, keluhurannya, syukur dan penerimaannya atas takdirnya serta bagaimana mereka mampu menikmati kebahagiaan yang mereka miliki.
Secara tekhnik, ehm.., saya tidak ingin komentar sebenarnya karena saya awam dengan tekhnik perfilman, namun jika saya simpulkan menurut kacamata saya, keseluruhan film lumayan manis, menghibur dan sangat menginspirasi, Akting dua pemain utama oke, walaupan saya lihat Titi Sjuman banyak kecanggungan dan kekakuan pada bagian2 awal. Namun saya rasa Cristine Hakim “bude Arya” aktingnya tetap terbaik. Adegan2 berjalan sangat natural “kecuali yang berbau teatrikal”, saya kira salah satu unsur yang berhasil dalam film ini adalah pada adegan-adegannya yang natural. Mungkin saja film ini ingin meniru film before sunrise/sunset, dengan menciptakan adegan-adegan natural serta dialog-dialog renungan yang kuat namun menarik. Namun harus diakui ada beberapa dialog yang terkesan belepotan, kurang korelasi antara satu dialog dengan yang lain, struktur kata kurang bagus, ketidak tepatan diksi, dan susah dipahami secara sepintas. Namun saya rasa beginilah gaya bahasa Emha Ainun Najib dalam hal ini sebagai penulis naskah, kita harus menghargainya. Hanya saja jika struktur kata dibuat lebih umum dan standar/baku maka akan tercipta kemudahan pemahaman dialog, dan tentunya akan menyempurnakan mengingat ini adalah film yang bertumpu kepada kekuatan dialog. Namun patut diapresiasi jika karakter film indonesia mampu meniru karakter film bertaraf internasional. Unsur lain saya kira cukup bagus. Secara sinematografi kita dimanjakan dengan pemandangan2 indah, penentuanpun angel cukup bagus dan artistik. Saya sangat kagum dengan bagaimana film ini memvisualisasian tema kegelapan dalam keindahan pada adegan pemotretan; bagaimana Rayya berbusana indah gemerlap meliukkan badannya di tempat eksotis untuk di potret, namun berekspresi sedih, penuh amarah dan nestapa. Sebuah simbolisasi yang amat bagus. Bagaimana mungkin seorang model dengan atribut keceriaan dan liukan berekspresi sedih?. Dan satu lagi saya agak sulit membayangkan apakah Titi Sjuman cukup representatif, mengingat karakter Rayya dalam film ini digambarkan begitu luar biasa; artis nomor satu tentang popularitas, Keagungan dan keindahanya, talent dan kecantikannya. Menurut subjektifitas saya karakter Rayya dalam film ini terkesan hanyalah perempaun dengan aura dan kharisma biasa, jauh dari karakter yang dibangun tentang Rayya dalam film ini. Atau mungkin seharusnya pengkarakteran Rayya agak dibuat biasa saja tidak terlalu meluap-luap, agar terjadi keselarasan dan membangun kesan realis dalam film ini.
Film bagus dan inspiratif, layak ditonton.
Ahfa Rahman
29-04-2014
Film ini mencoba merekontruksi pemahaman-pemahaman umum yang dianut kebanyakan masyarakat. Film ini mengisahkan perjalanan pemotretan seorang artis top papan atas “Rayya” bersama fotografer “Arya” dari satu tempat menuju tempat yang lain (Jakarta-Bali) yang dikuti drama-drama dan dialog-dialog yang sedikit berbau teatrikal.
Dalam film ini kita disuguhkan seorang Rayya dengan karakternya yang neurotis dan depresif. Deceritakan bahwa Rayya sedang mengalami patah hati akut karena masalah cinta dengan kekasihnya. Jiwanya sangat labil dan banyak mengekspresikan kekesalan dan amarah. Kita betul betul akan dibuat jengkel dengan karakter Rayya pada paruh pertama film ini. Berbeda dengan Arya, disini dia digambarkan berkarakter bijaksana, dewasa, penyabar, dan pemaklum.
Bagaikan Perjalanan Wisata, Perjalanan fotografi mereka mendatangi banyak tempat eksotis dan indah untuk melakukan pemotretan. Banyak dialog-dialog renungan yang muncul dalam perjalanan mereka, bahkan pada sesi pemotretan suasana dialog lebih kuat dan menonjol daripada suasana pemotretan itu sendiri. Rayya dengan kerapuhan dan dendamnya meratap dan berwacana seperti orang depresif. Ungkapannya penuh amarah dan kerapuhan, mentalnyapun sangat labil, tidak jarang kita melihat perubahan mental yang drastis; menangis, tertawa, meratap, semua bertumpuk menjadi satu. Arya disini menjadi lawan bicara yang bijaksana, lebih memaklumi, mendengarkan dan memberi respon dengan lontaran dialog yang dewasa dan lebih arif. Sikapnypun lebih mengalah dan memaklumi atas perilaku Rayya yang seenaknya. Fakta bahwa mereka ternyata sama-sama memiliki masa lalu cinta yang kelam membuat mereka semakin akrab dalam berdialog dan berkeluh kesah. Dalam perjalanan itu pula mereka melihat dan berinteraksi dengan beragam kondisi masyarakat (masyarakat pinggiran) dalam sejuta rutinitas dan wataknya yang sangat berbeda dengan watak masyarakat metropolitan. Pemandangan-pemandangan sosial, cara pandang, dan mental masyarakat itu menyadarkan mereka terutama Rayya tentang nilai-nilai baru, fakta-fakta, dan makna-makna lain dalam suatu hal. Fakta-fakta dan pandangan yang meruntuhkan penyimpulan-penyimpualan umum yang selama ini dianut oleh kebanyakan masyarakat. Bisa dinggap pula ini adalah kisah perjalanan Rayya mencari jati diri atau makna lain dari kebahagiaan dengan ditemani dan dimentori oleh Arya. Pada awal cerita mungkin emosi kita sibuk melihat watak dan kegilaan Rayya, namun semakin berjalan kita akan menemukan haru, kemistri, bahkan kemesraan yang dibangun oleh mereka berdua. Film ini adalah luapan emosi, dialog dan perenungan terhadap geliat sosial dalam cerita-cerita yang muncul di setiap tempat yang dikunjunginya. Cerita berakhir pada perjalanan pemotretan di Bali, dimana terjadi perceraian Arya dengan istrinya dan perpisahan Rayya dengan pacarnya lalu ditutup dengan narasi Rayya akan intisari refleksi perjalanannya.
Saya melihat film ini ingin meruntuhkan pemahaman dan penyimpulan sederhana yang dianut oleh banyak masyarakat, Bahwa kegemerlapan kemewahan tidaklah mengidentikkan sebuah kebahagiaan. Pada hakikatnya, apa yang kita lihat hanyalah bentuk luarnya saja, dan hal itu tidaklah mencerminkan kebenaran hakikinya. Kegemerlapan dan keindahan yang nampak pada lahirnya belum tentu memiliki kualitas sama pada “dalam” nya. Yang kita lihat oleh mata telanjang kita semuanya hanyalah kedok, hanyalah tirai yang menutupi akan isi sebenarnya ruangan dan sesuatu itu, film ini ingin mengokohkan bahwa kebahagiaan tidak bisa selalu diukur oleh materi dan popularitas, namun diukur melalui ketenangan dan kedamaian jiwa manusia itu sendiri. film ini juga ingin mengatakan bahwa kehebatan dan keistimewaan itu bukanlah ketika kita memiliki profesi atau status yang elit dan bergengsi, semua keadaan atau pekerjaan apapun memiliki nilai yang sama, Yang menjadi patokan penilaian bukanlah bergengsinya atau elitnya posisi kita dalam keberagaman kondisi sosial, namun bagaimana kita bisa menerima keadaan kita, mau bekerja keras dalam peluang kita, Bagaimana kita mau berbuat dalam keterbatasan kita, dan bagaimana kita menjunjung keluhuran dan kehormatan pada kesempatan yang kita miliki. Selain itu film ini juga berpesan bahwa bahwa semua manusia dalam segala profesinya, kedudukannya, keadaannya adalah sama, tidak ada derajat yang membedakan. Makna perbedaan sebenarnya adalah “mereka berjalan pada jalannya masing masing”. Konsep kehidupan adalah keberagaman dalam fungsi sosial. Jika ada satu profesi/ fungsi yang tidak ada maka tidak akan terjadi harmonisasi dan stabilitas ketergantungan dalam kehidupan ini. Karena pada faktanya satu kondisi/fungsi akan selalu membutuhkan kondisi/ fungsi yang lain. Entah seberapa rendahnya fungsi tersebut kita pasti membutuhkannya, walaupun itu hanyalah “pemecah batu sungai”. Jika ternyata fungsi beragam profesi manusia itu sama pentingnya maka tidak ada alasan untuk menciptakan kelas atau derajat profesi. Jika muncul kelas-kelas dalam profesi dan kedudukan manusia sepert martabat pekerjaan atau kehormatan atau apalah, maka itu hanyalah produk penyimpulan sosial yang tidak bijaksana dan yang tertipu oleh fenomena “kemasan”. Karena pada faktanya semua manusia dalam setiap status dan keadannya memiliki kelebihan dan kekuarangan masing2, memiliki kemudahan dan kesulitannya masing2. Jika demikian maka profesi dan kedudukan bukanlah ukuran, yang menjadi ukuran adalah ketenangan batin itu sendiri, kebahagiaan sejati adalah jika kita bisa menikmati kebahagian yang kita miliki. Lihatlah seorang Rayya, tokoh dengan popularitas tinggi, dengan kekayaan, talent dan kecantikannya lalu bagaimana dia diidentikkan dengan cahaya, ternyata dia mengakui kalau dirinya hanyalah kegelapan, seorang perempuan yang terjebak pada siksaan cinta. Bahkan pada akhir cerita dia bernarasi sesunggguhnya masyarakat-masyarakat kecil itulah yang patut diidentikkan dengan cahaya karena kerja keras dalam keterbatasannya, kekuatannya, tekadnya, keluhurannya, syukur dan penerimaannya atas takdirnya serta bagaimana mereka mampu menikmati kebahagiaan yang mereka miliki.
Secara tekhnik, ehm.., saya tidak ingin komentar sebenarnya karena saya awam dengan tekhnik perfilman, namun jika saya simpulkan menurut kacamata saya, keseluruhan film lumayan manis, menghibur dan sangat menginspirasi, Akting dua pemain utama oke, walaupan saya lihat Titi Sjuman banyak kecanggungan dan kekakuan pada bagian2 awal. Namun saya rasa Cristine Hakim “bude Arya” aktingnya tetap terbaik. Adegan2 berjalan sangat natural “kecuali yang berbau teatrikal”, saya kira salah satu unsur yang berhasil dalam film ini adalah pada adegan-adegannya yang natural. Mungkin saja film ini ingin meniru film before sunrise/sunset, dengan menciptakan adegan-adegan natural serta dialog-dialog renungan yang kuat namun menarik. Namun harus diakui ada beberapa dialog yang terkesan belepotan, kurang korelasi antara satu dialog dengan yang lain, struktur kata kurang bagus, ketidak tepatan diksi, dan susah dipahami secara sepintas. Namun saya rasa beginilah gaya bahasa Emha Ainun Najib dalam hal ini sebagai penulis naskah, kita harus menghargainya. Hanya saja jika struktur kata dibuat lebih umum dan standar/baku maka akan tercipta kemudahan pemahaman dialog, dan tentunya akan menyempurnakan mengingat ini adalah film yang bertumpu kepada kekuatan dialog. Namun patut diapresiasi jika karakter film indonesia mampu meniru karakter film bertaraf internasional. Unsur lain saya kira cukup bagus. Secara sinematografi kita dimanjakan dengan pemandangan2 indah, penentuanpun angel cukup bagus dan artistik. Saya sangat kagum dengan bagaimana film ini memvisualisasian tema kegelapan dalam keindahan pada adegan pemotretan; bagaimana Rayya berbusana indah gemerlap meliukkan badannya di tempat eksotis untuk di potret, namun berekspresi sedih, penuh amarah dan nestapa. Sebuah simbolisasi yang amat bagus. Bagaimana mungkin seorang model dengan atribut keceriaan dan liukan berekspresi sedih?. Dan satu lagi saya agak sulit membayangkan apakah Titi Sjuman cukup representatif, mengingat karakter Rayya dalam film ini digambarkan begitu luar biasa; artis nomor satu tentang popularitas, Keagungan dan keindahanya, talent dan kecantikannya. Menurut subjektifitas saya karakter Rayya dalam film ini terkesan hanyalah perempaun dengan aura dan kharisma biasa, jauh dari karakter yang dibangun tentang Rayya dalam film ini. Atau mungkin seharusnya pengkarakteran Rayya agak dibuat biasa saja tidak terlalu meluap-luap, agar terjadi keselarasan dan membangun kesan realis dalam film ini.
Film bagus dan inspiratif, layak ditonton.
Ahfa Rahman
29-04-2014