Saya terpanggil untuk menulis lagi resensi tentang film Rayya setelah beberapa waktu yang lalu saya melihat dan menyimak video Ma’iyyah suluk (pengajian) Emha ainun Najib (Penulis naskah) yang diselenggarkan di Rumah Adab Indonesia Mulia di kota Pati pada Sabtu 20 Juli 2013. Mendengarkan ceramah Emha yang bernuansa tasawuf dengan membahas tema “Cahaya diatas cahaya” membuatku berpikir bahwa mungkin saja gagasan yang diangkat dala film Rayya bersifat sufistik. Namun tak apalah jika sebelumnya saya menulis resensi film ini yang ide gagasannya saya tafsirkan ke arah “sosial”. Interpretasi apapun saya kira sah-sah saja asal bermakna positif dan bisa menelurkan manfaat kepada orang lain.
Melihat kalimat “Cahaya diatas cahaya” kita harus menyinggung firman Allah pada surah an-Nur:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35)
Interpretasi “Cahaya diatas cahaya” oleh para mufassir sangat beragam, jika melihat al-‘Aufi yang meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , bahwa maksudnya adalah iman seorang hamba dan amalnya. Menurut Ibnu Kasir’As-Saddi yang pernah berkata tentang firman Allah tersebut, cahaya di atas cahaya adalah cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu akan memancarkan sinar, dan yang satu tidak akan memancarkan cahaya yang lain. Demikian pula cahaya al-Qurán dan cahaya iman bersatu padu. Dan banyak tafsir yang lainnya.
Namun kita tidak akan jauh-jauh kesana kita akan berpedoman saja kepada inti penjelasan Emha tentang “Cahaya diatas cahaya” lalu kita akan kembali kepada konteks awal kita dengan mengorelasikan kepada film Rayya.
Menurut Cak Nun; Matahari yang selama ini kita percaya sebagai sumber cahayapun sebenarnya tidak memancarkan cahaya. Matahari hanya memancarkan energi inti sedemikian rupa sehingga ketika dia menimpa benda-benda alam tertentu akan membuat mata kita menjadi kompatibel sehingga kita bisa melihat. Cahaya merupakan sesuatu yang sangat misterius yang merupakan awal dari kehidupan kita, sekaligus sesuatu yang sangat ghaib yang merupakan ujung dari kehidupan kita.
Big Bang (salah satu teori penciptana alam semesta) menyebabkan cahaya terbagi menjadi tiga macam: cahaya yang dapat diindera, cahaya berupa gelombang, frekuensi, dan energi yang tak kasat mata, dan cahaya esensial seperti wujud aslinya. Tiga padatan atau gelombang inilah yang bekerja dalam hidup, baik di dalam maupun di luar diri kita.
Gelombang pertama adalah gelombang materialisme. Bentuknya bisa berupa bumi, kekayaan, jabatan, negara, balsem, minyak tawon, macam-macam kuliner, dan semua yang terindera. Gelombang pertama ini merupakan kerak atau ampas dari cahaya. Setelah meninggal nanti, bentukan dari gelombang pertama ini tak mungkin kita bawa untuk bisa berjodoh dengan cahaya yang lebih sejati. Sementara itu, sekarang rata-rata manusia justru menyibukkan diri dengan materialisme.
Materialisme adalah alat pertama Dajjal dan Iblis untuk membalik pandangan manusia, sehingga pada gilirannya manusia justru mengejar neraka dan meninggalkan surga. Pertemuan-pertemuan Maiyah di manapun merupakan wujud kecemasan jamaah terhadap gelombang pertama, terhadap gelombang yang paling kasar dan paling pendek umurnya.
Padahal yang nanti dipanggil Allah adalah mereka yang muthmainah, mereka yang mampu merasakan ketenteraman sejati di dalam dirinya. Makan ya makan, tapi bukan makannya yang utama.[1]
Saya menyimpulkan bahwa ada tiga sinar gelombang di alam semesta, gelombang pertama adalah materi seperti yang diungkap oleh emha, seperti; kekayaan, popularitas, uang, kecantikan, mobil mewah, dsb. Semua ini dianggap sinar paling rendah dan justru menjadi ujian bagi manusia, apakah kita terkuasai atau justru kita menguasai materi-materi itu. Sinar kedua saya anggap adalah “Virtue” nilai-nlai kebaikan/ atau kemuliaan atau bisa disebut energi positif/ semangat kebaikan. Cak nun mengatakan; bekerja adalah materi namun jika pekerjaan itu kita kemas dengan niat baik untuk mengabdi dan menafkahi keluarga maka hal itu terupgrade menjadi sinar gelomang kedua. Bisa disimpulkan pula sinar gelombang kedua adalah bagaimana kita memaknai positif materi sebagai sinar pertama. Karena bagaimanapun Virtue adalah “abstrak” dan dalam implementasinya selalu berhubungan dengan unsur unsur materi. Dan yang ketiga adalah sinar Muhammad (nur Muhammad) sumber dari sinar itu sendiri karena Muhammad didelegasikan kedunia memang untuk menyinari dunia dan menjadi panutan alam semesta. Seperti firman Allah:
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu, Rasul Kami, yang menjelaskan kepada kamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu, cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” [Surah Al-Maidah: 15]
Bahkan dalam pemahaman lain umat Islam memiliki konsep "Nur Muhammad" yang menyatakan bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Muhammad saw adalah makhluq pertama yg diciptakan Allah swt, yg kemudian dari cahayanya, Allah menciptakan makhluq-makhluq lainnya.
“Amati di dalam dirimu, mana yang merupakan gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Saat menjadi pegawai, absen pagi-sore, mengerjakan urusan-urusan pekerjaan, itu merupakan pekerjaan gelombang satu. Dia bisa menjadi gelombang kedua tergantung dari caramu memaknainya. Batas-batas hubunganmu dengan materialisme harus kamu manage terus. Pokoknya cari terus gelombang ketiga (Nur Muhammad). Tiap hari Anda harus bermain silat untuk tidak membiarkan diri Anda diperbudak gelombang pertama.”[2]
Mengorelasikan kepada Filam Rayya: kita lihat keistimewaan Rayya menjadi seorang aktris kelas atas dengan segala keindahan dan kelebihannya adalah potret dari sinar gelombang pertama (materi). Begitu juga cinta dengan segala kegundahannya adalah bagian dari itu dan dianggap keraknya cahaya, karena memang karakteristik dari materi adalah kegundahan, keresahan, kesedihan dan ketidak tenangan. Itulah potensi yang ditimbulkan materi yang mengarahkan kita kepada kesesatan sehingga pancaran dari materi itu membuat Rayya menjadi pribadi yang kasar, neurotis, dan kegilaan-kegilaan batin lainnya yang jauh dari konsep “annafsul muthmainnah”. Berbeda dengan kelas-kelas masyarakat pinggiran yang dia temui dalam perjalanannya, mereka adalah orang-orang yang tidak bergelimang harta namun bisa memaknai keadaannya, bisa memaknai peluang-peluang dan keterbatasan kemampuannya kepada aspek-aspek kebaikan dan kemuliaa. Nenek-nenek dan anak kecil pemecah batu walau lemah namun menguatkan diri untuk mencari nafkah seadanya guna bertahan hidup dan membiayai keluarganya. Rasa syukur mereka kepada keadaan dan peluangnya, pengorbanannya dan niat tulusnya mencari nafkah adalah wujud dari sinar gelombang kedua. Budhe arya walau tuli mau berbuat untuk pendidikan anak autis guna kepentingan masa depannya, penjual karak yang menjaga martabat dan kehormatan, serta buruh pabrik yang bangga dan syukur akan pekerjaannya, dan yang masih banyak lagi adalah manusia-manusia yang sudah mampu meraih gelombang yang lebih mulia yaitu gelombang kedua.
Kalau pada resensi sebelumnya saya mengatakan ini adalah “kisah perjalanan Rayya mencari jati diri atau makna lain dari kebahagiaan yang diantar dan dimentori oleh Arya” pada kali ini mungkin saya akan berkata “kisah perjalanan Rayya mencari pencerahan dan mentransformasikan gelombang pertama menuju gelombang kedua yang dimentori oleh Arya”. Arya mungkin lebih dulu dan lebih bisa melepaskan dari kekangan materi. Dalam hal ini problematika cinta mereka menunjukkan itu (orang yang dicintai). Kegilaan dan keresahan Rayya diakibatkan belum mampu memaafkan dan melupakan orang yang dicintainya, berbeda dengan Arya yang lebih sabar dan mampu memaafkan istrinya. Jadi orientasi materi adalah sumber keresahan dan kegelisahan. Jangan sampai kita dikendalikan oleh gelombang ini. Justru “Virtue” yang merupakan gelombang kedua adalah sumber dari ketenangan yang sejati. Bahkan ketika mereka berada di sebuah bukit, Rayya menyebut dirinya dengan segala yang menyangkut padanya “gelombang materi” adalah kegelapan, karena cahaya yang sejati adalah sinar gelombang kedua.
[1] http://www.caknun.com/2013/cahaya-di-atas-cahaya/
[2] Ungkapan Emha dalam Maiyahan Suluk Maleman di kota Pati, Sabtu 20 Juli 2013,
Ahfa Rahman
30 Juni 2014
Melihat kalimat “Cahaya diatas cahaya” kita harus menyinggung firman Allah pada surah an-Nur:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu. (QS. 24:35)
Interpretasi “Cahaya diatas cahaya” oleh para mufassir sangat beragam, jika melihat al-‘Aufi yang meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas , bahwa maksudnya adalah iman seorang hamba dan amalnya. Menurut Ibnu Kasir’As-Saddi yang pernah berkata tentang firman Allah tersebut, cahaya di atas cahaya adalah cahaya api dan cahaya minyak bila bersatu akan memancarkan sinar, dan yang satu tidak akan memancarkan cahaya yang lain. Demikian pula cahaya al-Qurán dan cahaya iman bersatu padu. Dan banyak tafsir yang lainnya.
Namun kita tidak akan jauh-jauh kesana kita akan berpedoman saja kepada inti penjelasan Emha tentang “Cahaya diatas cahaya” lalu kita akan kembali kepada konteks awal kita dengan mengorelasikan kepada film Rayya.
Menurut Cak Nun; Matahari yang selama ini kita percaya sebagai sumber cahayapun sebenarnya tidak memancarkan cahaya. Matahari hanya memancarkan energi inti sedemikian rupa sehingga ketika dia menimpa benda-benda alam tertentu akan membuat mata kita menjadi kompatibel sehingga kita bisa melihat. Cahaya merupakan sesuatu yang sangat misterius yang merupakan awal dari kehidupan kita, sekaligus sesuatu yang sangat ghaib yang merupakan ujung dari kehidupan kita.
Big Bang (salah satu teori penciptana alam semesta) menyebabkan cahaya terbagi menjadi tiga macam: cahaya yang dapat diindera, cahaya berupa gelombang, frekuensi, dan energi yang tak kasat mata, dan cahaya esensial seperti wujud aslinya. Tiga padatan atau gelombang inilah yang bekerja dalam hidup, baik di dalam maupun di luar diri kita.
Gelombang pertama adalah gelombang materialisme. Bentuknya bisa berupa bumi, kekayaan, jabatan, negara, balsem, minyak tawon, macam-macam kuliner, dan semua yang terindera. Gelombang pertama ini merupakan kerak atau ampas dari cahaya. Setelah meninggal nanti, bentukan dari gelombang pertama ini tak mungkin kita bawa untuk bisa berjodoh dengan cahaya yang lebih sejati. Sementara itu, sekarang rata-rata manusia justru menyibukkan diri dengan materialisme.
Materialisme adalah alat pertama Dajjal dan Iblis untuk membalik pandangan manusia, sehingga pada gilirannya manusia justru mengejar neraka dan meninggalkan surga. Pertemuan-pertemuan Maiyah di manapun merupakan wujud kecemasan jamaah terhadap gelombang pertama, terhadap gelombang yang paling kasar dan paling pendek umurnya.
Padahal yang nanti dipanggil Allah adalah mereka yang muthmainah, mereka yang mampu merasakan ketenteraman sejati di dalam dirinya. Makan ya makan, tapi bukan makannya yang utama.[1]
Saya menyimpulkan bahwa ada tiga sinar gelombang di alam semesta, gelombang pertama adalah materi seperti yang diungkap oleh emha, seperti; kekayaan, popularitas, uang, kecantikan, mobil mewah, dsb. Semua ini dianggap sinar paling rendah dan justru menjadi ujian bagi manusia, apakah kita terkuasai atau justru kita menguasai materi-materi itu. Sinar kedua saya anggap adalah “Virtue” nilai-nlai kebaikan/ atau kemuliaan atau bisa disebut energi positif/ semangat kebaikan. Cak nun mengatakan; bekerja adalah materi namun jika pekerjaan itu kita kemas dengan niat baik untuk mengabdi dan menafkahi keluarga maka hal itu terupgrade menjadi sinar gelomang kedua. Bisa disimpulkan pula sinar gelombang kedua adalah bagaimana kita memaknai positif materi sebagai sinar pertama. Karena bagaimanapun Virtue adalah “abstrak” dan dalam implementasinya selalu berhubungan dengan unsur unsur materi. Dan yang ketiga adalah sinar Muhammad (nur Muhammad) sumber dari sinar itu sendiri karena Muhammad didelegasikan kedunia memang untuk menyinari dunia dan menjadi panutan alam semesta. Seperti firman Allah:
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu, Rasul Kami, yang menjelaskan kepada kamu banyak dari isi Al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu, cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.” [Surah Al-Maidah: 15]
Bahkan dalam pemahaman lain umat Islam memiliki konsep "Nur Muhammad" yang menyatakan bahwa cahaya atau ruh dari Nabi Muhammad saw adalah makhluq pertama yg diciptakan Allah swt, yg kemudian dari cahayanya, Allah menciptakan makhluq-makhluq lainnya.
“Amati di dalam dirimu, mana yang merupakan gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Saat menjadi pegawai, absen pagi-sore, mengerjakan urusan-urusan pekerjaan, itu merupakan pekerjaan gelombang satu. Dia bisa menjadi gelombang kedua tergantung dari caramu memaknainya. Batas-batas hubunganmu dengan materialisme harus kamu manage terus. Pokoknya cari terus gelombang ketiga (Nur Muhammad). Tiap hari Anda harus bermain silat untuk tidak membiarkan diri Anda diperbudak gelombang pertama.”[2]
Mengorelasikan kepada Filam Rayya: kita lihat keistimewaan Rayya menjadi seorang aktris kelas atas dengan segala keindahan dan kelebihannya adalah potret dari sinar gelombang pertama (materi). Begitu juga cinta dengan segala kegundahannya adalah bagian dari itu dan dianggap keraknya cahaya, karena memang karakteristik dari materi adalah kegundahan, keresahan, kesedihan dan ketidak tenangan. Itulah potensi yang ditimbulkan materi yang mengarahkan kita kepada kesesatan sehingga pancaran dari materi itu membuat Rayya menjadi pribadi yang kasar, neurotis, dan kegilaan-kegilaan batin lainnya yang jauh dari konsep “annafsul muthmainnah”. Berbeda dengan kelas-kelas masyarakat pinggiran yang dia temui dalam perjalanannya, mereka adalah orang-orang yang tidak bergelimang harta namun bisa memaknai keadaannya, bisa memaknai peluang-peluang dan keterbatasan kemampuannya kepada aspek-aspek kebaikan dan kemuliaa. Nenek-nenek dan anak kecil pemecah batu walau lemah namun menguatkan diri untuk mencari nafkah seadanya guna bertahan hidup dan membiayai keluarganya. Rasa syukur mereka kepada keadaan dan peluangnya, pengorbanannya dan niat tulusnya mencari nafkah adalah wujud dari sinar gelombang kedua. Budhe arya walau tuli mau berbuat untuk pendidikan anak autis guna kepentingan masa depannya, penjual karak yang menjaga martabat dan kehormatan, serta buruh pabrik yang bangga dan syukur akan pekerjaannya, dan yang masih banyak lagi adalah manusia-manusia yang sudah mampu meraih gelombang yang lebih mulia yaitu gelombang kedua.
Kalau pada resensi sebelumnya saya mengatakan ini adalah “kisah perjalanan Rayya mencari jati diri atau makna lain dari kebahagiaan yang diantar dan dimentori oleh Arya” pada kali ini mungkin saya akan berkata “kisah perjalanan Rayya mencari pencerahan dan mentransformasikan gelombang pertama menuju gelombang kedua yang dimentori oleh Arya”. Arya mungkin lebih dulu dan lebih bisa melepaskan dari kekangan materi. Dalam hal ini problematika cinta mereka menunjukkan itu (orang yang dicintai). Kegilaan dan keresahan Rayya diakibatkan belum mampu memaafkan dan melupakan orang yang dicintainya, berbeda dengan Arya yang lebih sabar dan mampu memaafkan istrinya. Jadi orientasi materi adalah sumber keresahan dan kegelisahan. Jangan sampai kita dikendalikan oleh gelombang ini. Justru “Virtue” yang merupakan gelombang kedua adalah sumber dari ketenangan yang sejati. Bahkan ketika mereka berada di sebuah bukit, Rayya menyebut dirinya dengan segala yang menyangkut padanya “gelombang materi” adalah kegelapan, karena cahaya yang sejati adalah sinar gelombang kedua.
[1] http://www.caknun.com/2013/cahaya-di-atas-cahaya/
[2] Ungkapan Emha dalam Maiyahan Suluk Maleman di kota Pati, Sabtu 20 Juli 2013,
Ahfa Rahman
30 Juni 2014