Kehidupan ini sangat variatif, dari sisi strata sosial, pekerjaan, pendidikan, dan kebahagiaanpun juga sangat variatif. Semuanya beraneka, tapi sebenarnya peringkat atau yang terbaik dari mereka tidak bisa dipandang dan dinilai dari satu perspektif. Tetapi dengan sifat manusia yang sangat terbatas, yaitu penilaian mereka yang teramat subjektif dan tidak proporsional, mereka tidak mampu melihat hal itu semuanya dengan menyeluruh dan bijak.
Ya.. ukuran manusia sukses versi manusia itu sendiri adalah kekayaan dan jabatan. Manusia yang mempunyai finansial yang melimpah atau menduduki jabatan yang mewah dianggap orang besar, orang yang berhasil, orang yang paling istimewa dan terhormat diantara mereka sendiri. Sebenarnya itu semua salah. Kita harus sadar bahwa pada satu titik kita harus mengakui bahwa peluang dan kondisi titik tolak kita berbeda. Sebagai contoh ada orang yang dilahirkan dari seorang direktur dan satu lagi anak petani miskin dikampung. Lalu dua anak tersebut menjalani proses hidupnya masing-masing. Anak direktur yang punya segalanya tentu bisa sekolah di sekolahan faforit, punya banyak fasilitas belajar, bisa kuliah ke luar negeri, dan selanjutnya dia bisa bekerja di perusahaan manapun karena banyak relasi atau bekerja di perusahaan milik ayahnya sendiri. Lalu anak petani dengan keterbatasan segalanya, dia hanya mampu lulus SD atau paling mentok lulus SMP. Itupun hanya di sekolahan biasa, paling SD Inpres atau SMP satu atap yang masih sering kita jumpai di pelosok-pelosok. Dia tidak punya akses dan kemampuan yang cukup, sehingga pada akhirnya... ikut orang tua ajalah ke sawah bantu nyangkul atau ngasih makan kebo buat bajak sawah.
Lalu sampai pada cerita ini, dua duanya telah menjadi orang dewasa dan berprofesi. Satu seorang direktur karena telah menggantikan ayahnya yang pensiun, dan satu lagi menjadi petani yang pantang menyerah untuk menghidupi anak istri. Tentu menurut versi manusia yang tidak bijak, direktur lebih keren, lebih bermartabat, lebih sukses, dll. Tapi tunggu dulu.. bisa saja direktur itu sukses karena kerja keras bawahannya. Dia hanya leha-leha di kursi goyang khusus direktur karena warisan orang tua. Untuk sambutanpun mungkin dia punya asisten pribadi atau staff ahli. Usaha dan pengorbanan yang dia keluarkan untuk pencapaian ini tidak terlalu banyak karena diuntungkan oleh kondisi. Lalu mengenai sang petani; dia mati-matian membeli pupuk yang tidak terjangkau, pergi subuh pulang maghrib untuk mencangkul dan membajak. Terik matahari sudah tiada panas bagi dia karena sudah terlalu biasa. Usahanya sudah terlalu berlebihan sehingga mengabaikan fisik dan kesehatan. Ketika datang panen harga kebutuhan pokok menurun drastis karena pemerintah kurang memperhatikan kepentingan para petani. Apakah ini adil jika sang direktur dinilai lebih berperingkat dan lebih baik. Dia sukses dengan usaha yang tidak terlalu berarti daripada sang petani bekerja mati-matian walaupun pada profesi yang paling rendah menurut banyak orang. Tentu banyak kecilnya usahalah yang paling pantas untuk menilai mana diantara keduanya yang lebih berperingkat. Atau jika cerita ini dibalik, sang direktur yang rajin, dan petani yang malas, tentu yang lebih berperingkat adalah sang direktur. Atau contoh lainnya begini, satu orang kampung miskin, satu orang kaya di kota. 35 tahun kemudian mereka berdua mampu menjadi direktur. Mana yang paling berperingkat? tentu anak orang miskin di kampung. Karena tentu usahanya lebih keras daripada anak orang kaya. Seperti memeras otaklah, melawan aruslah, pontang-panting nyari beasiswalah, dll. Berbeda dengan anak orang kaya yang tinggal belajar dan memaksimalkan fasilitas. Karena memang titik tolak itulah yang akan menentukan peluang dan rintangan untuk menggapai sesuatau. Jadi intinya bukan profesi yang menjadi ukuran dan sumber nilai, tetapi sejauh mana usaha yang dikeluarkan dalam profesinya masing-masing. Wa anna laisa lil insani illa ma sa’a. Wa anna sa’yahu saufa yuro. tsumma yujzahu jazaal aufa. Amiinn.. (QS. An- Najm, 139-141)
Ahfa R Syach
11-03-1010
Ya.. ukuran manusia sukses versi manusia itu sendiri adalah kekayaan dan jabatan. Manusia yang mempunyai finansial yang melimpah atau menduduki jabatan yang mewah dianggap orang besar, orang yang berhasil, orang yang paling istimewa dan terhormat diantara mereka sendiri. Sebenarnya itu semua salah. Kita harus sadar bahwa pada satu titik kita harus mengakui bahwa peluang dan kondisi titik tolak kita berbeda. Sebagai contoh ada orang yang dilahirkan dari seorang direktur dan satu lagi anak petani miskin dikampung. Lalu dua anak tersebut menjalani proses hidupnya masing-masing. Anak direktur yang punya segalanya tentu bisa sekolah di sekolahan faforit, punya banyak fasilitas belajar, bisa kuliah ke luar negeri, dan selanjutnya dia bisa bekerja di perusahaan manapun karena banyak relasi atau bekerja di perusahaan milik ayahnya sendiri. Lalu anak petani dengan keterbatasan segalanya, dia hanya mampu lulus SD atau paling mentok lulus SMP. Itupun hanya di sekolahan biasa, paling SD Inpres atau SMP satu atap yang masih sering kita jumpai di pelosok-pelosok. Dia tidak punya akses dan kemampuan yang cukup, sehingga pada akhirnya... ikut orang tua ajalah ke sawah bantu nyangkul atau ngasih makan kebo buat bajak sawah.
Lalu sampai pada cerita ini, dua duanya telah menjadi orang dewasa dan berprofesi. Satu seorang direktur karena telah menggantikan ayahnya yang pensiun, dan satu lagi menjadi petani yang pantang menyerah untuk menghidupi anak istri. Tentu menurut versi manusia yang tidak bijak, direktur lebih keren, lebih bermartabat, lebih sukses, dll. Tapi tunggu dulu.. bisa saja direktur itu sukses karena kerja keras bawahannya. Dia hanya leha-leha di kursi goyang khusus direktur karena warisan orang tua. Untuk sambutanpun mungkin dia punya asisten pribadi atau staff ahli. Usaha dan pengorbanan yang dia keluarkan untuk pencapaian ini tidak terlalu banyak karena diuntungkan oleh kondisi. Lalu mengenai sang petani; dia mati-matian membeli pupuk yang tidak terjangkau, pergi subuh pulang maghrib untuk mencangkul dan membajak. Terik matahari sudah tiada panas bagi dia karena sudah terlalu biasa. Usahanya sudah terlalu berlebihan sehingga mengabaikan fisik dan kesehatan. Ketika datang panen harga kebutuhan pokok menurun drastis karena pemerintah kurang memperhatikan kepentingan para petani. Apakah ini adil jika sang direktur dinilai lebih berperingkat dan lebih baik. Dia sukses dengan usaha yang tidak terlalu berarti daripada sang petani bekerja mati-matian walaupun pada profesi yang paling rendah menurut banyak orang. Tentu banyak kecilnya usahalah yang paling pantas untuk menilai mana diantara keduanya yang lebih berperingkat. Atau jika cerita ini dibalik, sang direktur yang rajin, dan petani yang malas, tentu yang lebih berperingkat adalah sang direktur. Atau contoh lainnya begini, satu orang kampung miskin, satu orang kaya di kota. 35 tahun kemudian mereka berdua mampu menjadi direktur. Mana yang paling berperingkat? tentu anak orang miskin di kampung. Karena tentu usahanya lebih keras daripada anak orang kaya. Seperti memeras otaklah, melawan aruslah, pontang-panting nyari beasiswalah, dll. Berbeda dengan anak orang kaya yang tinggal belajar dan memaksimalkan fasilitas. Karena memang titik tolak itulah yang akan menentukan peluang dan rintangan untuk menggapai sesuatau. Jadi intinya bukan profesi yang menjadi ukuran dan sumber nilai, tetapi sejauh mana usaha yang dikeluarkan dalam profesinya masing-masing. Wa anna laisa lil insani illa ma sa’a. Wa anna sa’yahu saufa yuro. tsumma yujzahu jazaal aufa. Amiinn.. (QS. An- Najm, 139-141)
Ahfa R Syach
11-03-1010