Konsep ketuhanan dan agama, terlepas dari benar tidaknya mengenai hakekatnya. Memiliki peranan yang begitu penting dalam stabilitas kehidupan manusia. Dia adalah sebuah sandaran terakhir yang dituju oleh manusia yang dirundung penderitaan batin, kerugian, dan kesedihan akibat potensi negatif kehidupan.
Pada dasarnya manusia amat tidak bisa menghadapi kerugian, kerugian dalam arti yang luas bukan hanya materi tapi juga kerugian yang bersifat hilangnya kenyamana batin, dsb. Ketika manusia terpojok dalam kesusahannya dia akan mencoba mencari pengganti, kompensasi dan ketenangan, dan ketika dia tidak menemukan apapun disekelilingnya dia akan berusaha mencari ketenangan hati melalui keyakinannya. Itulah sandaran terakhir manusia. Disitulah ia mulai menemukan ketenangan dengan meyakini bahwa bencana ini adalah takdir tuhan yang tentu memiliki maksud tertentu serta sesuatu yang tidak pernah bisa dihindari dan terjadi untuk kebaikan kita sendiri. Paham inilah yang membuat mereka menemukan ketenangan ditengah-tengah sakit dan kegelisahannya.
Pada wilayah psikologis dijelaskan pula bahwa salah satu kebutuhan manusia pada wilayah kejiwaan adalah merasa memiliki tuhan dan kepercayaan. Dan konon katanya setiap manusia punya insting ketuhanan, yaitu, pada dasarnya manusia punya kecenderungan mengakui secara alami adanya kekuatan besar yang menguasai alam ini dan hal itu selalu terbersit dalam benak manusia ketika dalam kondisi terpojok dan tertekan.
Ada yang berpendapat tentang dua paham besar “Jabariah dan Qodariah”, “seqodariah apapun manusia dia juga harus mengimani jabariah”. Karena jika kita mengimani bahwa segala sesuatu itu tergantung usaha kita sendiri “Qodariah”(semua bermula dari dari kita) kita akan goncang ketika mengalami kerugian yang besar, karena secara psikis tentu kita akan menyalahkan dan menyesali perbuatan kita sendiri, kita akan membodoh-bodohkan dan berlarut kepada penyesalan yang luar biasa. Anda bayangkan jika anda kehilangan hal yang paling berharga dalam hidup atas perbuatan anda sendiri atau atas tindakan orang lain yang amat kejam dan sadis. Tentu anda tidak terima dan menganggap ini adalah mutlak kerugian dan kesialan. Disinilah paham jabariah dibutuhkan, dengan meyakini bahwa yang terjadi adalah kehendak tuhan, disitulah kita tenang, karena kehendak tuhan tentu punya maksud tertentu untuk kebaikan kita dan tentu ada hasil atau minimal sebuah kompensasi.
Sangat mengherankan bagi kaum ateis, bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan eksis dengan keyakinannya. Entah sandaran terakhir apa yang mereka miliki ketika mereka berada dalam titik terpojok dalam hidupnya.
Beban pemikiranku membuatku tidak secepat orang lain merasakan memiliki iman atau kepercayaan. Entah apa yang terjadi dalam benakku, intinya sangat kacau dan rumit, file2 didalamnya berantakan tak menentu. Apakah aku tersesat dalam pemikiran yang salah, atau aku punya pola pikir dan sudut pandang sendiri yang berbeda dengan konsensus masyarakat. Apakah aku punya dunia sendiri dengan cara pandang dan pola berpikir sendiri pula. aku tidak tahu, tapi dinamika kehidupanku semenjak kecil membuatku selalu berpikir tentang hakekat apapun, dengan bekal dan data yang kutemui. Kehidupan yang maha rumit.
Berbahagialah jika memiliki keyakinan karena itulah sandaran terakhirmu. Aku pernah merasakan dimana Tuhan berpindah dari diriku ketika aku memiliki masalah, Dia tidak berkenan menjadi sandaran terakhirku. Rasanya sangat berbeda dengan ketika aku mengalami masalah lain yang sepertinya tuhan masih menjadi sandaran terakhir. Pengalaman batin yang susah dijelaskan lewat bahasa. Tapi intinya perbedaannya adalah. Ketika tuhan ada, dalam masalahku terasa masih ada semacam pijakan dan harapan, tapi ketika dia pergi semuanya seakan kosong, sangat kosong, penderitaan tanpa sandara terakhir, dibelakang masalahku seakan kosong tanpa lantai dan pijakan. Dan aku sendiri di jagad alam...
Ahfa Rahman
06-12-2011
Pada dasarnya manusia amat tidak bisa menghadapi kerugian, kerugian dalam arti yang luas bukan hanya materi tapi juga kerugian yang bersifat hilangnya kenyamana batin, dsb. Ketika manusia terpojok dalam kesusahannya dia akan mencoba mencari pengganti, kompensasi dan ketenangan, dan ketika dia tidak menemukan apapun disekelilingnya dia akan berusaha mencari ketenangan hati melalui keyakinannya. Itulah sandaran terakhir manusia. Disitulah ia mulai menemukan ketenangan dengan meyakini bahwa bencana ini adalah takdir tuhan yang tentu memiliki maksud tertentu serta sesuatu yang tidak pernah bisa dihindari dan terjadi untuk kebaikan kita sendiri. Paham inilah yang membuat mereka menemukan ketenangan ditengah-tengah sakit dan kegelisahannya.
Pada wilayah psikologis dijelaskan pula bahwa salah satu kebutuhan manusia pada wilayah kejiwaan adalah merasa memiliki tuhan dan kepercayaan. Dan konon katanya setiap manusia punya insting ketuhanan, yaitu, pada dasarnya manusia punya kecenderungan mengakui secara alami adanya kekuatan besar yang menguasai alam ini dan hal itu selalu terbersit dalam benak manusia ketika dalam kondisi terpojok dan tertekan.
Ada yang berpendapat tentang dua paham besar “Jabariah dan Qodariah”, “seqodariah apapun manusia dia juga harus mengimani jabariah”. Karena jika kita mengimani bahwa segala sesuatu itu tergantung usaha kita sendiri “Qodariah”(semua bermula dari dari kita) kita akan goncang ketika mengalami kerugian yang besar, karena secara psikis tentu kita akan menyalahkan dan menyesali perbuatan kita sendiri, kita akan membodoh-bodohkan dan berlarut kepada penyesalan yang luar biasa. Anda bayangkan jika anda kehilangan hal yang paling berharga dalam hidup atas perbuatan anda sendiri atau atas tindakan orang lain yang amat kejam dan sadis. Tentu anda tidak terima dan menganggap ini adalah mutlak kerugian dan kesialan. Disinilah paham jabariah dibutuhkan, dengan meyakini bahwa yang terjadi adalah kehendak tuhan, disitulah kita tenang, karena kehendak tuhan tentu punya maksud tertentu untuk kebaikan kita dan tentu ada hasil atau minimal sebuah kompensasi.
Sangat mengherankan bagi kaum ateis, bagaimana mereka bisa bertahan hidup dan eksis dengan keyakinannya. Entah sandaran terakhir apa yang mereka miliki ketika mereka berada dalam titik terpojok dalam hidupnya.
Beban pemikiranku membuatku tidak secepat orang lain merasakan memiliki iman atau kepercayaan. Entah apa yang terjadi dalam benakku, intinya sangat kacau dan rumit, file2 didalamnya berantakan tak menentu. Apakah aku tersesat dalam pemikiran yang salah, atau aku punya pola pikir dan sudut pandang sendiri yang berbeda dengan konsensus masyarakat. Apakah aku punya dunia sendiri dengan cara pandang dan pola berpikir sendiri pula. aku tidak tahu, tapi dinamika kehidupanku semenjak kecil membuatku selalu berpikir tentang hakekat apapun, dengan bekal dan data yang kutemui. Kehidupan yang maha rumit.
Berbahagialah jika memiliki keyakinan karena itulah sandaran terakhirmu. Aku pernah merasakan dimana Tuhan berpindah dari diriku ketika aku memiliki masalah, Dia tidak berkenan menjadi sandaran terakhirku. Rasanya sangat berbeda dengan ketika aku mengalami masalah lain yang sepertinya tuhan masih menjadi sandaran terakhir. Pengalaman batin yang susah dijelaskan lewat bahasa. Tapi intinya perbedaannya adalah. Ketika tuhan ada, dalam masalahku terasa masih ada semacam pijakan dan harapan, tapi ketika dia pergi semuanya seakan kosong, sangat kosong, penderitaan tanpa sandara terakhir, dibelakang masalahku seakan kosong tanpa lantai dan pijakan. Dan aku sendiri di jagad alam...
Ahfa Rahman
06-12-2011