Seperti yang kita renungkan, pernikahan dan cinta memang didesain agak rumit, itulah mungkin kenapa orang-orang bijak dan terdahulu mengatakan jodoh itu misteri, ada yang jalannya mudah ada yang berkelok dan berliku. Jodoh sudah tertulis di lauhul mahfudz (kehendak tuhan) atau kita sendiri yang mencari juga merupakan perdebatan yang tiada habisnya. Terserah Mifta mau percaya yang mana, tapi kesimpulanku, tuhan selalu mengarahkan dan menunjukkan hambanya yang sholeh kepada pasangan yang paling tepat untuknya. Dan manusia itu bisa saja menelikung atau menghindar dari harapan tuhan tersebut.
Masalah chemistri bagiku sangat relatif, tidak akan pernah ada teori atau rumusan tentang chemistri yang mutlaq. Dulu kita selalu dicekoki dengan rumusan bahwa banyak persamaan itu baik, ternyata banyak kesamaan bukan menjamin kita untuk cocok dalam berteman hidup, dan begitupula banyak perbedaaan bukan berarti tidak serasi untuk menjalin ikatan suci. Keberhasilan hubungan bukan semata-mata karena teori chemistri tapi ada unsur dari subjektifitas pelaku yang meliputi usaha dan upaya pengendalian diri.
Kalau merujuk kepada agama kita, tidak haram memang menolak pinangan laki-laki, tapi dianjurkan untuk menerima jika ada laki-laki sholeh melamar dengan niat baik. Alasan yang paling logis adalah laki-laki sholeh tentu akan membawa kebaikan dan keselamatan dunia akhirat. Tetapi bukan berarti para gadis harus memaksakan hati menerima pinangan laki-laki yang tidak disukai dan dikehendakinya. Dan perempuan itu sendirilah yang paling tahu keadaan hatinya. Kalau merasa tidak bisa, tolaklah secara halus dan tidak menyakiti, tapi kalau muncul naluri halus atau atau rasa “bisa”, ya.. terimalah...
Rasulullah banyak berkomentar tentang masalah ini. Janda atau gadis harus ditanya kesediaannya, tiada hak bagi sang ayah untuk memaksa menikahkan putrinya walaupun sang ayah adalah pihak dalam ritual akad, begitu sebaliknya perempuan tidak boleh menikah tanpa izin ayah atau wali. kesimpulannya, menikah harus meliputi kesediaan 3 pihak, ayah gadis, sang gadis, dan calon suami.
Kalau kita lebih mengeksplorasi rahasia hidup, perempuan memang diciptakan sejajar dengan laki-laki. Tapi dalam konteks pernikahan, perempuan memang diciptakan untuk menjadi pendamping dan pelengkap kebutuhan laki-laki. Fakta sejarah adam, lebih banyaknya jumlah perempuan dibanding laki-laki, kodrat laki-laki yang mengejar dan memilih perempuan, perintah agama perempuan harus selalu taat dan melayani suami dan tidak ada ketentuan sebaliknya walaupun secara moral harus,- sudah cukup menunjukkan itu. Dalam urusan ini laki-laki memang diberikan ruang dan kemungkinan yang lebih luas daripada perempuan yang terbatas,- Ini dinilai dari kodrat, seperti: 1. Etikanya Laki-laki yang harus mengejar-ngejar, sehingga ia bebas memilih dan mencari wanita idamannya sedangkan perempuan ada di posisi mempertimbangkan saja. 2. Hierarki kesediaan perempuan menerima pinangan laki-laki, sebatas bisa, suka, sayang, atau memang cinta. Dan yang paling tampak adalah 3. secara lahiriah hati perempuan gampang berubah-ubah dan gampang terpengaruh. Sehingga terkesan kondisional dan fleksible terhadap laki-laki yang menghampirinya. Adalah benar pendapat orang, perempuan bisa luluh jika terus didekati, tapi laki-laki kalau sudah tidak suka dengan salah satu perempuan, selamanya tidak akan suka. Memang terkesan kurang adil, tapi inilah fakta dan konsep penciptaan dua jenis manusia.
Dari sini aku anggap ada benarnya kata temanmu, “qita tidak menikah dengan laki-laki yang kita cintai” tetapi qita menikah dengan laki2 yang mencintai kita” tapi.. ada standar minimal, yaitu paling tidak sang perempuan itu punya rasa “bisa” kepada laki-laki yang melamar itu. Ukuran bisa menurutku; mau, tidak ada rasa benci, hati terasa ringan, halus dan tak kuasa menolak, dan ada keyakinan walau sedikit akan mendapatkan kebahagiaan dan cinta kasih dalam rumah tangga kelak.
Kalau sudah wilayah ini yang terpenting adalah naluri. Tuhanlah sebenarnya tempat pengaduan terakhir. Dia yang paling tahu masa depan dan segala hal yang paling baik untuk kamu. Tanyakan kepada dia lewat hubungan yang lebih intim. Tanyakan apakah dia tepat dan terbaik untukmu atau tidak. Atau cobalah Istikhoroh, InsyaAllah Dia bersedia memberikan petunjuk melalui nalurimu.
Ahfa Rahman
11-04-2011
Masalah chemistri bagiku sangat relatif, tidak akan pernah ada teori atau rumusan tentang chemistri yang mutlaq. Dulu kita selalu dicekoki dengan rumusan bahwa banyak persamaan itu baik, ternyata banyak kesamaan bukan menjamin kita untuk cocok dalam berteman hidup, dan begitupula banyak perbedaaan bukan berarti tidak serasi untuk menjalin ikatan suci. Keberhasilan hubungan bukan semata-mata karena teori chemistri tapi ada unsur dari subjektifitas pelaku yang meliputi usaha dan upaya pengendalian diri.
Kalau merujuk kepada agama kita, tidak haram memang menolak pinangan laki-laki, tapi dianjurkan untuk menerima jika ada laki-laki sholeh melamar dengan niat baik. Alasan yang paling logis adalah laki-laki sholeh tentu akan membawa kebaikan dan keselamatan dunia akhirat. Tetapi bukan berarti para gadis harus memaksakan hati menerima pinangan laki-laki yang tidak disukai dan dikehendakinya. Dan perempuan itu sendirilah yang paling tahu keadaan hatinya. Kalau merasa tidak bisa, tolaklah secara halus dan tidak menyakiti, tapi kalau muncul naluri halus atau atau rasa “bisa”, ya.. terimalah...
Rasulullah banyak berkomentar tentang masalah ini. Janda atau gadis harus ditanya kesediaannya, tiada hak bagi sang ayah untuk memaksa menikahkan putrinya walaupun sang ayah adalah pihak dalam ritual akad, begitu sebaliknya perempuan tidak boleh menikah tanpa izin ayah atau wali. kesimpulannya, menikah harus meliputi kesediaan 3 pihak, ayah gadis, sang gadis, dan calon suami.
Kalau kita lebih mengeksplorasi rahasia hidup, perempuan memang diciptakan sejajar dengan laki-laki. Tapi dalam konteks pernikahan, perempuan memang diciptakan untuk menjadi pendamping dan pelengkap kebutuhan laki-laki. Fakta sejarah adam, lebih banyaknya jumlah perempuan dibanding laki-laki, kodrat laki-laki yang mengejar dan memilih perempuan, perintah agama perempuan harus selalu taat dan melayani suami dan tidak ada ketentuan sebaliknya walaupun secara moral harus,- sudah cukup menunjukkan itu. Dalam urusan ini laki-laki memang diberikan ruang dan kemungkinan yang lebih luas daripada perempuan yang terbatas,- Ini dinilai dari kodrat, seperti: 1. Etikanya Laki-laki yang harus mengejar-ngejar, sehingga ia bebas memilih dan mencari wanita idamannya sedangkan perempuan ada di posisi mempertimbangkan saja. 2. Hierarki kesediaan perempuan menerima pinangan laki-laki, sebatas bisa, suka, sayang, atau memang cinta. Dan yang paling tampak adalah 3. secara lahiriah hati perempuan gampang berubah-ubah dan gampang terpengaruh. Sehingga terkesan kondisional dan fleksible terhadap laki-laki yang menghampirinya. Adalah benar pendapat orang, perempuan bisa luluh jika terus didekati, tapi laki-laki kalau sudah tidak suka dengan salah satu perempuan, selamanya tidak akan suka. Memang terkesan kurang adil, tapi inilah fakta dan konsep penciptaan dua jenis manusia.
Dari sini aku anggap ada benarnya kata temanmu, “qita tidak menikah dengan laki-laki yang kita cintai” tetapi qita menikah dengan laki2 yang mencintai kita” tapi.. ada standar minimal, yaitu paling tidak sang perempuan itu punya rasa “bisa” kepada laki-laki yang melamar itu. Ukuran bisa menurutku; mau, tidak ada rasa benci, hati terasa ringan, halus dan tak kuasa menolak, dan ada keyakinan walau sedikit akan mendapatkan kebahagiaan dan cinta kasih dalam rumah tangga kelak.
Kalau sudah wilayah ini yang terpenting adalah naluri. Tuhanlah sebenarnya tempat pengaduan terakhir. Dia yang paling tahu masa depan dan segala hal yang paling baik untuk kamu. Tanyakan kepada dia lewat hubungan yang lebih intim. Tanyakan apakah dia tepat dan terbaik untukmu atau tidak. Atau cobalah Istikhoroh, InsyaAllah Dia bersedia memberikan petunjuk melalui nalurimu.
Ahfa Rahman
11-04-2011