Aku kadang bingung membedakannya.., membedakan antara fakta nyata atau hanya kesimpulan dramatisasi, aku merasa bukan lagi manusia yang handal bernaluri. Aku seperti sudah biasa hidup berdramatisasi. Seolah-olah suatu hal atau peristiwa, aku punya pendekatan sendiri untuk memaha minya, atau aku selalu menaruh sifat skeptis yang berlebihan kepada hal yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan asumsi2 itu.
Aku memang terdidik untuk itu, aku seorang yang keadaan dan lingkukangnku mengajarkan dramatisasi dan kecemasan. Ditambah lagi yang aku kira keadaan genetik juga memberikan sumbangsih yang berarti. Lalu secara jiwa aku adalah manusia yang handal berimajinasi dan mengkhayal, jika dikodifikasikan, mungkin khayalanku sudah berbab-bab seperti karya ST Lewis tentang Dunia Narnia.
Tak dipungkiri traumatika juga berlembar-lembar jika dihitung dalam riwayat hidupku, sifat ketakutan juga lumayan mendominasi keadaan mental jiwaku. Karena ada bagian dalam diriku yang terdiskriminasi dan terasa kurang tak tercukupi. Sehingga semua itu membentuk jiwa dan pola pikir dramatis.
Seolah dalam diriku akal kurang berperan, semua didominasi dan dimonopoli oleh hati, mengukur sesuatu aku selalu menggunakan perspektif intuisi dan mengesampingkan logika, dan pada faktanya hati kurang bijak mengadili peristiwa atau problema, dia hanya melihat sisi rasa dan tidak konsisten berdiri tegak menjadi sebuah perspektif, karena secara alami hati memang berubah-ubah sesuai pengaruh dan rentan oleh godaan dan hasutan. berbeda denga logika, dia selalu mengacu kepada fakta, kronologi, sebab akibat sehingga dia lebih adil dan bijak menyimpulkan sesuatu.
Aku sudah akut dengan keadaan ini, susah untuk kembali menyeimbangkan antara perasaan dan logika, sudah sulit bagiku mengembalikan fungsi masing-masing secara proporsional, akal sebagai alat untuk meneropong berdasarkan rentetan fakta dan hal-hal yang berkesinambungan dengan logika, lalu intuisi sebagai media meneropong secara rasa dan asumsi yang tentu bijak, dan sedikit menyerempet metafisika.
Aku tenggelam dalam kebodohan bernaluri, dungu menyimpulkan sesuatu dan lebih sering bermain dalam dunia bayangan yang tidak berdasar. Berenang-renang dalam kecemasan yang berlebih, mengukur sesuatu lebih panjang dari ukuran sebenarnya dan terkadang juga memperpendek ukuran yang lebih panjang. Hidup dalam duniaku sendiri dan berpenyakit oleh hal-hal semu.
Ahfa Rahman
29-12-2012
Aku memang terdidik untuk itu, aku seorang yang keadaan dan lingkukangnku mengajarkan dramatisasi dan kecemasan. Ditambah lagi yang aku kira keadaan genetik juga memberikan sumbangsih yang berarti. Lalu secara jiwa aku adalah manusia yang handal berimajinasi dan mengkhayal, jika dikodifikasikan, mungkin khayalanku sudah berbab-bab seperti karya ST Lewis tentang Dunia Narnia.
Tak dipungkiri traumatika juga berlembar-lembar jika dihitung dalam riwayat hidupku, sifat ketakutan juga lumayan mendominasi keadaan mental jiwaku. Karena ada bagian dalam diriku yang terdiskriminasi dan terasa kurang tak tercukupi. Sehingga semua itu membentuk jiwa dan pola pikir dramatis.
Seolah dalam diriku akal kurang berperan, semua didominasi dan dimonopoli oleh hati, mengukur sesuatu aku selalu menggunakan perspektif intuisi dan mengesampingkan logika, dan pada faktanya hati kurang bijak mengadili peristiwa atau problema, dia hanya melihat sisi rasa dan tidak konsisten berdiri tegak menjadi sebuah perspektif, karena secara alami hati memang berubah-ubah sesuai pengaruh dan rentan oleh godaan dan hasutan. berbeda denga logika, dia selalu mengacu kepada fakta, kronologi, sebab akibat sehingga dia lebih adil dan bijak menyimpulkan sesuatu.
Aku sudah akut dengan keadaan ini, susah untuk kembali menyeimbangkan antara perasaan dan logika, sudah sulit bagiku mengembalikan fungsi masing-masing secara proporsional, akal sebagai alat untuk meneropong berdasarkan rentetan fakta dan hal-hal yang berkesinambungan dengan logika, lalu intuisi sebagai media meneropong secara rasa dan asumsi yang tentu bijak, dan sedikit menyerempet metafisika.
Aku tenggelam dalam kebodohan bernaluri, dungu menyimpulkan sesuatu dan lebih sering bermain dalam dunia bayangan yang tidak berdasar. Berenang-renang dalam kecemasan yang berlebih, mengukur sesuatu lebih panjang dari ukuran sebenarnya dan terkadang juga memperpendek ukuran yang lebih panjang. Hidup dalam duniaku sendiri dan berpenyakit oleh hal-hal semu.
Ahfa Rahman
29-12-2012