Ibarat sekarang aku seperti berada dalam dunia benang kusut, semua rumit dan carut marut total, semua sendi bermasalah, tiada satu jalan atau sisi yang ku jadikan pelarian untuk pelarian dan rebahan hidup. Dulu ku berhunting ria membaca rubrik-rubrik psikologis guna menemukan apa yang terjadi pada kejiwaanku, barangkali saja abnormalitas kejiwaan dan psikis adalah main problem yang menyebabkan kerumitan dan kemaha beratan hidupku, berlembar lembar kertas digital ku baca dan kutelaah, kucermati teori dan kubandingkan dengan kecenderungan serta karakteristikku, setelah rajin kumenelaah kutemukan banyak point yang mengamini bahwa kerumitanku adalah karena abnormalitas psikis, dan terbilang sudah akut dan harus ditangani dengan fokus dan professional, hal tersebut dikarenakan aku besar dilingkungan yang tidak sehat dan tidak kondusif; kekerasan dalam rumah tangga, tempramentalitas orang tua, dan lingkungan luar yang juga tidak menyamankanku, terasa seperti pecundang, dan anak kerupuk bawang, “istilah anak pecundang/lemah”, setelah itu pula aku dimasukkan pesantren modern yang penuh dengan dinamika kekerasan dan psikologis pula, tempat dimana bukan menjadi ladangku untuk menebar benih bakat dan potensi serta ajang mengkualitaskan taraf pendidikan, tempat itu justru menjadi pengkronis penyakit kejiwanku, bukan menjadi sebaliknya, apakah abnormalitas psikis adalah masalah..?
Lalu banyak para agamawan “istilahku untuk para agamis” membisikiku bahwa kerancuanku adalah karena ku tidak beragama dengan baik, mereka berkhutbah; sholat adalah media untuk menenangkan batin, jadi apakah masalah agama yang membuatku luluh lantak kacau tak berdaya? Aku kembali mengingat dinamika kehidupanku di pesantren dulu. Aku ingat aku selalu berusaha sempurna melakukan keagamaanku, aku adalah anak rajin dan pekerja keras, dan punya impian tinggi, setiap hal yang kuanggap membawa kepada keluhuran dan kesuksesan selalu ku kerjakan dan ku gapai. Agama memang kuanggap sebagai salah satu media atau kewajiban atau cara untuk mencapai sebuah kesejatian dan prestasi, kupelajari agama itu dan kulakukan ritual-ritualnya, aku selalu perfeksionis melakukannya, pernah kudianggap aneh karena unik dalam beragama, sebutir debu atau apalah yag lengket atau kuanggap lengket pada seragam sholatku sudah ku klaim najis, dan kucuci berulang-ulang, bisa dikatakan 1 seragam untuk satu kali sholat setelah itu kucuci untuk sholat berikutnya, wudhu juga kulakukan dengan sesempurna mungkin, dalam tatacara wudhu dijelakan bahwa mengusap 3 kali disunahkan, tapi bagiku 3 kali tidaklah cukup, aku mengusap dan membasuh bisa berkali-kali karena ingin kupastikan semua air menyiram seluruh kulit bagian-bagian badanku yang terkena wudhu, lalu sholatpun berusaha kulakukan dengan sempurna dan sebaik mungkin, dalam doktrin yang kupelajari sholat haruslah khusuk “terfokusnya pikiran hanya kepada tuhan”, untuk itulah aku berusah beritual sholat dengan sekhusyuk mungkin, jika sekali saja aku mengingat hal lain selain tuhan maka aku membatalkan sholat dan kumulai takbir lagi untuk sholat yang baru, dan pembatalan itu kadang berulang kali, dan lafadz-lafadz sholatpun jika aku merasa tidak benar dan tidak fasih akupun membatalkan untuk sebuah “kekhusyukan” yang kudambakan, sehingga karena itu semua, fisik, urat, saraf dan pernapasan, ku menjadi lelah, aku menganggap sholat adalah ritual yang melelahkan, dan aktifitas maha berat, dan aku tidak yakin akan kulakukan ritual ini seumur hidupku,
Lalu jauh setelah itu semua muncul sebuah pertanyaan, apakah kerancuan hidupku karenaku tidak setia kepada agama, atau kerusakan kejiwaanku yang merusak hidupku termasuk merusak hubunganku dengan agama?
Ahfa Rahman
22-02-2013
Lalu banyak para agamawan “istilahku untuk para agamis” membisikiku bahwa kerancuanku adalah karena ku tidak beragama dengan baik, mereka berkhutbah; sholat adalah media untuk menenangkan batin, jadi apakah masalah agama yang membuatku luluh lantak kacau tak berdaya? Aku kembali mengingat dinamika kehidupanku di pesantren dulu. Aku ingat aku selalu berusaha sempurna melakukan keagamaanku, aku adalah anak rajin dan pekerja keras, dan punya impian tinggi, setiap hal yang kuanggap membawa kepada keluhuran dan kesuksesan selalu ku kerjakan dan ku gapai. Agama memang kuanggap sebagai salah satu media atau kewajiban atau cara untuk mencapai sebuah kesejatian dan prestasi, kupelajari agama itu dan kulakukan ritual-ritualnya, aku selalu perfeksionis melakukannya, pernah kudianggap aneh karena unik dalam beragama, sebutir debu atau apalah yag lengket atau kuanggap lengket pada seragam sholatku sudah ku klaim najis, dan kucuci berulang-ulang, bisa dikatakan 1 seragam untuk satu kali sholat setelah itu kucuci untuk sholat berikutnya, wudhu juga kulakukan dengan sesempurna mungkin, dalam tatacara wudhu dijelakan bahwa mengusap 3 kali disunahkan, tapi bagiku 3 kali tidaklah cukup, aku mengusap dan membasuh bisa berkali-kali karena ingin kupastikan semua air menyiram seluruh kulit bagian-bagian badanku yang terkena wudhu, lalu sholatpun berusaha kulakukan dengan sempurna dan sebaik mungkin, dalam doktrin yang kupelajari sholat haruslah khusuk “terfokusnya pikiran hanya kepada tuhan”, untuk itulah aku berusah beritual sholat dengan sekhusyuk mungkin, jika sekali saja aku mengingat hal lain selain tuhan maka aku membatalkan sholat dan kumulai takbir lagi untuk sholat yang baru, dan pembatalan itu kadang berulang kali, dan lafadz-lafadz sholatpun jika aku merasa tidak benar dan tidak fasih akupun membatalkan untuk sebuah “kekhusyukan” yang kudambakan, sehingga karena itu semua, fisik, urat, saraf dan pernapasan, ku menjadi lelah, aku menganggap sholat adalah ritual yang melelahkan, dan aktifitas maha berat, dan aku tidak yakin akan kulakukan ritual ini seumur hidupku,
Lalu jauh setelah itu semua muncul sebuah pertanyaan, apakah kerancuan hidupku karenaku tidak setia kepada agama, atau kerusakan kejiwaanku yang merusak hidupku termasuk merusak hubunganku dengan agama?
Ahfa Rahman
22-02-2013