Dimana letak tanah impian itu bagiku ketika aku selalu gagal ditempat2 tempat yang aku singgahi, selalu muncul masalah dan masalah sehingga tak ku gapai jua sebuah puncak kenyamanan dan ketentraman. Searasa tanah-tanah yang kupijak berstatus tanah haram bagiku.
Ketika manusia2 lain disana berangkat menyusuri lalu lintas hidupnya berbekal kenyamanannya akan kampung halaman, kehangatan akan sentuhan ibu dan bapa, serta sejuta hubungan emosional positif kepada rumahnya, ku mengenal rumahku sebagai tempat kekerasan, tempat yang sangat hiruk pikuk dengan aura tempramental dan ego, tempatku mendengar dan melihat sebuah tindakan berbasis paksaan dan kesewenang wenangan, sebuah rumah yang isinya diukur oleh mood dan teori mentah. tempat pertumbuhan dan pendidikan yang ekstrim melalui teori pendidkan dan komunikasi yang salah kaprah.
aku harus meninggalkan rumahku dan lingkunganku untuk sebuah pelarian, pelarian tentang kebencian dan kesengsaraanku tentang rumahku, mencari bumi baru yang kuharap ketika itu menjadi sebuah rumah baru bagiku.
Pernah aku berguru agama di sebuah tempat suci, yang secara teori adalah rumah idaman bagi ketenangan batin, tapi aku gagal disana, kendala psikologis akibat kekerasan rumahku membuatku semakin menderita disana, membuatku tidak bisa melewati sistem dan tata hidup negeri itu, membuatku gagal secara sosial dan hal itu merusak reputasiku, membuat batinku semakin terseok dan tertindih oleh fenomena negeri itu. dan itu semakin merusak substansi diriku “kejiwaan”
To be continued