Serasa akal dan jiwaku sudah rusak parah, sehingga mempengaruhi pola pikir, psikis, emosinal dengan segala aktifitasnya. Serasa tidak ada panutan atau prinsip yang jelas. Yang pasti aku plin-plan. Dan pada faktanya, kenyataan berubah-ubah tanpa sandaran yang jelas. Semua membingungkanku, tidak ada teori dan prinsip yang pasti, semua bertingkah sesukanya. Membuatku menikmati indahnya kegilaan dalam kesadaraan. Ternyata orang gila patut bersyukur, karena masalahnya yang bertumpuk tidak terasa karena kegilaannya, ada yang lebih menderita daripadanya, yaitu orang merasakan mencekamnya kegilaan dalam kesadarannya.
Mungkin aku orang teraneh dunia, pola pikir terunik dan terkacau di peradaban ini. Satu yang aku impikan tapi mustahil selama ini. Aku ingin normal seperti mereka. Aku mohon cukup jika ini adzab dari sang pencipta, aku mohon dibantu jika ini usahaku sendiri yang membuatnya. Aku menyerah atas keadaan ini...
Pencipta...., Aku hidup dengan karakter dan behavior ini..., sifat yang kurang menguntungkan untuk menjalani drama kehidupan. Aku adalah aktor dramatisasi kehidupan, membuat dunia tidak realistis. Seolah-olah penyakit psikis itu sudah akut stadium 4. Sudah agak susah untuk diobati. Fakta-fakta yang terjadi aku lebihkan dalam anganku. Engkau lebih tahu sebabnya....
Tingkat dan nilai kebutuhanku akan-Nya teramat besar dan lebih besar diantara yang lain. Sudah lama aku terombang ambing dalam derasnya air liur dan keinginan menggelora. Keadaan jiwaku tidak siap untuk itu, Lingkungan dan kehidupanku masa kecil memaksaku untuk terdiam dari eksistensi itu. Tidak ada daya untuk mencoba atau menjangkaunya. Dan naluri keyakinanku tidak ada.....
Aku diam karena hati nuraniku, terlepas apakah itu Naluri, Penyakit ataukah Godaan, tapi aku benar-benar tidak memiliki keyakinan dan legitimasi jiwa, aku meyakini jika aku melakukan hasilnya akan berseberangan dengan harapan. Tapi pada suatu masa aku diberikan kenyataan penyesalan, penyesalan yang aneh, seolah permasalahan dan perkara itu tidak berkesinambungan.
Aku bisa dan mampu mendekat kepada para pembawa-Nya terkadang, tanpa ada hambatan, tapi aku sama sekali tidak menikmatinya. Aku bisa menjangkaunya dengan mudah, tetapi bukan itu yang diinginkan hatiku.
Dalam Ekplorasiku untuk-Nya, aku hanya menari-nari dalam ketakutanku, berdendang dalam keterbatasanku. Bernyanyi dalam kekhawatiran dan trauma. Terkadang aku memberanikan diri merengkuhnya, mengacuhkan kondisi yang tidak memungkinkan, melakukan sebagai bentuk upaya, sebagai tanggung jawab atas kewajiban. Tapi semua berakhir nihil.
Pernah aku dengan susah payah menjangkau-Nya, sehingga Dia sempat menjadi bayanganku beberapa saat, tetapi ada kekuatan yang memaksaku untuk menepis dan meninggalkannya. Ketika aku mengagumi kupu-kupu lain dan kami sempat terbang bersama mengitari taman bunga, aku selalu disuguhkan pengetahuan akan kupu-kupu jantan pujaannya. Serasa usahaku menyuguhkan sari dan madu hanya sia-sia belaka.
Hal semacam itu berputar terus dalam poros kehidupanku, membuatku mengeluh dan mengernyitkan dahi, serta merintih merasakan sensasi kesengsaraannya. Membuatku dengan sadarnya, merasakan fenomena kekacauan jiwa.
Jika para pasangan sedih karena konflik hubungannya, Jika para pecinta menangis ditinggalkan oleh-Nya, jika para perumah tangga tertekan akan perceraiannya. Aku tersiksa ketika melihat manusia berpasang-pasangan.
Ahfa Rahman
13-01-2011