Seperti menemukan daging durian berwarna merah diantara jutaan durian berdaging kuning dan putih. Mungkin hanya satu atau dua diantara belantara jutaan khalayak. Mencuat dari kelopak kulit yang sebenarnya amat keras untuk kubuka dengan tangan hampa.
Benarkah kautengadahkan tanganmu untuk kuraih sebagai skenario tuhan, setelah ku berutopia tanpa harap kenyataan demi kepentingan substansi diriku, demi zat yang menggerakkan tumpukan ragaku..
Tanpa alasan kumenyayangimu, tanpa kriteria sekalipun, tanpa pertimbangan sekalipun. langsung saja kukasihi dirimu tanpa menoleh aspek-aspek selera inderawi. Entah aura kharisma apa yang membalutmu sehingga ku agungkan dikau-mu tanpa syarat? masa kecilmukah yang seceria dan seindah pelangi?, atau persembahan tarianmu setengah tahun lalu diantara manusia-manusia yang berdrama antagonis.
Maafkan aku tentang keterbatasan dan kekurangan persembahanku. Percayalah.. sudah kuusahakan sebaik mungkin. Sesalku teramat dalam tentang sebuah malam yang kurang sempurna dan bersisa bercak, karena mungkin itu malam tunggal, malam yang hanya itu saja, kuragu ada keniscayaan tentang malam-malam lain.
Dramatisasi itu yang menggelayutiku. Ketakutanku akan ketajaman persepsimu yang membuahkan kesimpulan untuk enggan dan benci. Aku hanya ingin ada yang bersimpati dan memahamiku lalu berpihak. Percayalah persepsimu salah, aksiku tidaklah natural yang bisa menjadi kaca mata penilaianmu psikologismu. Maafkan sikapku berlebihan dan tak berkenan, ku janjikan lebih baik jika saja ada malam berikutnya.
Caramu tertawa tersaji diteater bayanganku. Beberapa scene tawamu menghiasi panggung-panggung imajinasiku. Seperti potret tawa masa lalu yang tiba tiba muncul dipermukaan otakku, diantara jutaan data memori yang sebenarnya mustahil kuakses, untuk kunikmati khas dan indah seni tawanya.., untuk kuhayati eksotisme alamu.., tentang tawa lepasmu…
Kucintai dikau dalam panggunggku…, kukasihi dikau dalam teaterku.., kusegalakan dirimu dalam sanggarku.., dalam panggung dunia tentulah kemustahilan, tentang kepantasan, etika, dan selera…
Ahfa Rahman
26-03-2013
Benarkah kautengadahkan tanganmu untuk kuraih sebagai skenario tuhan, setelah ku berutopia tanpa harap kenyataan demi kepentingan substansi diriku, demi zat yang menggerakkan tumpukan ragaku..
Tanpa alasan kumenyayangimu, tanpa kriteria sekalipun, tanpa pertimbangan sekalipun. langsung saja kukasihi dirimu tanpa menoleh aspek-aspek selera inderawi. Entah aura kharisma apa yang membalutmu sehingga ku agungkan dikau-mu tanpa syarat? masa kecilmukah yang seceria dan seindah pelangi?, atau persembahan tarianmu setengah tahun lalu diantara manusia-manusia yang berdrama antagonis.
Maafkan aku tentang keterbatasan dan kekurangan persembahanku. Percayalah.. sudah kuusahakan sebaik mungkin. Sesalku teramat dalam tentang sebuah malam yang kurang sempurna dan bersisa bercak, karena mungkin itu malam tunggal, malam yang hanya itu saja, kuragu ada keniscayaan tentang malam-malam lain.
Dramatisasi itu yang menggelayutiku. Ketakutanku akan ketajaman persepsimu yang membuahkan kesimpulan untuk enggan dan benci. Aku hanya ingin ada yang bersimpati dan memahamiku lalu berpihak. Percayalah persepsimu salah, aksiku tidaklah natural yang bisa menjadi kaca mata penilaianmu psikologismu. Maafkan sikapku berlebihan dan tak berkenan, ku janjikan lebih baik jika saja ada malam berikutnya.
Caramu tertawa tersaji diteater bayanganku. Beberapa scene tawamu menghiasi panggung-panggung imajinasiku. Seperti potret tawa masa lalu yang tiba tiba muncul dipermukaan otakku, diantara jutaan data memori yang sebenarnya mustahil kuakses, untuk kunikmati khas dan indah seni tawanya.., untuk kuhayati eksotisme alamu.., tentang tawa lepasmu…
Kucintai dikau dalam panggunggku…, kukasihi dikau dalam teaterku.., kusegalakan dirimu dalam sanggarku.., dalam panggung dunia tentulah kemustahilan, tentang kepantasan, etika, dan selera…
Ahfa Rahman
26-03-2013