Ada jiwa yang terengah-engah di Paramadina, Terengah-engah karena vibrasi dan goncangan jiwa hati yang menggelora, ada manusia yang tidak cukup kosakata untuk menggambarkannya, hanya ada beberapa tanda bahasa yang mendekatinya; “Indah”, “Anggun”, “Semampai”, dan “menggairahkan”
Vibrasi ini kencang namun sangat lunak dan lembut dinikmati oleh indra perasa,.............. Baru saja ia menyapaku “sudah makan siang?” aku berkata “sudah” Dalam waktu tanda bahasa ini tertulis, dia sedang bercengkerama dengan tuhan disampingku.... dengan seragam sholat berwarna hijau perak, balutan dan kondisi yang menggairahkan dalam keadaan transendental. Seharusnya harus tercipta tanda bahasa baru semacam “Indah” tetapi lebih mewakili sifat atau nilai “keindahan tiada tara”
Ada sebuah informasi baru setelah komunikasi sepintas setelah sholatnya...Ternyata dia adalah sang “Ada”. Seseorang yang semalam sebelumnya terlibat komunikasi elektronik denganku. Sempat terdapat kata “anulir” dalam komunikasi itu yang membutku gundah gulana. Tapi pada detik ujung bolpoinku menggambarkan tanda bahasa ini, kata “gundah gulana” itu berubah menjadi “indah”.
Namun komunikasi yang langka itu terpotong..................................
Agak susah sebenarnya mengconvert rasa hati itu kedalam bahasa konvensional, tapi bila sedikit dipaksakan “perasaan itu sangat lembut namun dibumbui dengan gelora-gelora, seperti rasa indah dari kolaborasi antara cinta dan gairah”
Wanita itu bergaun hijau dan putih, kolaborasi yang sejuk, rambutnya terbungkus oleh kain warna hijau, tirai tubuhnya putih dan bercorak hijau, raganya amat ramping dan tertata proporsional
Gadis itu sigap dan lincah......., Berkali-kali berputar dengan kakinya melintas dihadapanku. Dia menganggapku sebagai satu diantara hiruk pikuk massa dan manusia, tetapi aku melihatnya seperti seorang permaisuri diantara histeria para rakyat negeri.
Pawakannya teramat anggun dan menggairahkan, wajahnya bulat berpijar bak bola-bola lampu disekitar taman-taman pondok indah, Holistika bentuk wajahnya sembab dalam istilahku. Atau mungkin mungil dan imut dalam bahasa konvensional.
Dia bisa diinterpretasikan melalui pohon bonsai, mungil... tetapi sangat eksotis dan indah, pohon yang terlihat hijau karena lebat daunnya. Batangnya cukup besar dan kuat menopang ranting-rantingnya. Akarnya sangat bersih dan halus..., dahan dan ranting-rantingnya amat lentik dan anggun, buahnya ranum dan segar menggelayut disisi ranting, daun-daunnya lebat berwarna hijau muda dan terlihat berkilau-kilau. sebuah pohon bonsai hijau yang teramat sempurna....
Dia adalah sang “Ada” dalam bahasa sunda, berjalan-jalan anggun menyusuri ruang paramadina, menawarkan kegairahan semu bagi para penonton dan penikmatnya, mempersembahkan kegalauan dan kegilaan bagi pecintanya, dan menciptakan realitas terindah dalam sejarah cinta jika naluri dan pengembaraan angan sang pecinta itu menjadi sebuah realita.
Ahfa Rahman
November 2010
Vibrasi ini kencang namun sangat lunak dan lembut dinikmati oleh indra perasa,.............. Baru saja ia menyapaku “sudah makan siang?” aku berkata “sudah” Dalam waktu tanda bahasa ini tertulis, dia sedang bercengkerama dengan tuhan disampingku.... dengan seragam sholat berwarna hijau perak, balutan dan kondisi yang menggairahkan dalam keadaan transendental. Seharusnya harus tercipta tanda bahasa baru semacam “Indah” tetapi lebih mewakili sifat atau nilai “keindahan tiada tara”
Ada sebuah informasi baru setelah komunikasi sepintas setelah sholatnya...Ternyata dia adalah sang “Ada”. Seseorang yang semalam sebelumnya terlibat komunikasi elektronik denganku. Sempat terdapat kata “anulir” dalam komunikasi itu yang membutku gundah gulana. Tapi pada detik ujung bolpoinku menggambarkan tanda bahasa ini, kata “gundah gulana” itu berubah menjadi “indah”.
Namun komunikasi yang langka itu terpotong..................................
Agak susah sebenarnya mengconvert rasa hati itu kedalam bahasa konvensional, tapi bila sedikit dipaksakan “perasaan itu sangat lembut namun dibumbui dengan gelora-gelora, seperti rasa indah dari kolaborasi antara cinta dan gairah”
Wanita itu bergaun hijau dan putih, kolaborasi yang sejuk, rambutnya terbungkus oleh kain warna hijau, tirai tubuhnya putih dan bercorak hijau, raganya amat ramping dan tertata proporsional
Gadis itu sigap dan lincah......., Berkali-kali berputar dengan kakinya melintas dihadapanku. Dia menganggapku sebagai satu diantara hiruk pikuk massa dan manusia, tetapi aku melihatnya seperti seorang permaisuri diantara histeria para rakyat negeri.
Pawakannya teramat anggun dan menggairahkan, wajahnya bulat berpijar bak bola-bola lampu disekitar taman-taman pondok indah, Holistika bentuk wajahnya sembab dalam istilahku. Atau mungkin mungil dan imut dalam bahasa konvensional.
Dia bisa diinterpretasikan melalui pohon bonsai, mungil... tetapi sangat eksotis dan indah, pohon yang terlihat hijau karena lebat daunnya. Batangnya cukup besar dan kuat menopang ranting-rantingnya. Akarnya sangat bersih dan halus..., dahan dan ranting-rantingnya amat lentik dan anggun, buahnya ranum dan segar menggelayut disisi ranting, daun-daunnya lebat berwarna hijau muda dan terlihat berkilau-kilau. sebuah pohon bonsai hijau yang teramat sempurna....
Dia adalah sang “Ada” dalam bahasa sunda, berjalan-jalan anggun menyusuri ruang paramadina, menawarkan kegairahan semu bagi para penonton dan penikmatnya, mempersembahkan kegalauan dan kegilaan bagi pecintanya, dan menciptakan realitas terindah dalam sejarah cinta jika naluri dan pengembaraan angan sang pecinta itu menjadi sebuah realita.
Ahfa Rahman
November 2010