“Ketika mereka menikmatinya di ruang-ruang utama cinta, kami hanya mampu bercumbu pada ruang-ruang sebelahnya.”
Ketika Dia pergi dengan acuh, dia tetap menjaga kekaguman dan cintanya, tak pernah dia lepaskan walau sedetik sekejap. Bayangan sang Dia bahkan selalu mengiringinya, membuntutinya, memakan waktu dan menghimpit kejiwaannya. Sewindu dia menyimpan rapi dan tersiksa hati, bukan sebatas rentetan tahun yang sekejap.
Dia pergi sekonyong-konyong hati, tak sadar bercak dan jejak yang telah ia pahat kuat dalam hati sang dia. Dia pergi dengan fakta penilaian hati dan intimidasi para kerabat. Dia mengembara ke lembah nan jauh sembari mencari cinta disana. Berusaha melupakan sang dia yang tidak diterima hati dan logika. Tapi dia sadar.... , perlakuannya salah dan bersalah, tapi egoisme dan keacuhan membuatnya lupa bertutur maaf.
Sang dia mulai kelimpungan dengan bebannya, menghadapi beberapa episode kehidupan dengan kekecewaan dan belitan emosi cinta yang menyala-nyala. Mencoba bangkit ditengah-tengah lembah kerapuhan. Tangis dan ratapan menjadi peran drama yang selalu ia mainkan. Sebuah lara ditengah kesendirian dan kelemahan. dia rapuh, tapi menjadikan laranya sebagai tangga untuk memanjat pijakan hari-harinya yang dinamis.
Dia disana ternyata juga kelelahan mencari cinta. Terseok-seok dan teriris-iris jiwanya. Sudah terlalu sering ia mengemis dan meratap cinta, tapi impian keindahan yang ia harapkan, justru menjadi bomerang tajam yang mencabik-cabik hidupnya. Dia sempoyongan disana, tiada teman dan sandaran yang nyaman. Dia termarjinalkan dalam kerumunan padat manusia. Sepi...., jiwanyapun sunyi, hatinyapun sendu...
Sang dia disana kokoh dalam peradabannya. Para manusia mengagumi keistimewaannya. dia banyak dipuja dan menduduki tahta pencapaian. Disekelilingnya ramai dengan para manusia yang menemani dan menyayanginya, tapi hatinya masih sepi seperti biasa, masih meratapi bayangan Dia nun jauh di ufuk barat. Tiada teropong yang menjangkaunya, tapi bayangannya masih enggan untuk beranjak dari relung hatinya.
Lalu mereka bersua setelah perjalanan ini begitu jauh. Pencarian Dia untuk mengemis dan mengharap ampunan membuat mereka saling bersapa. Sang Dia meronta-ronta dan berkeluh kesah akan nasibnya, sang dia menikmati pembicaraan dari setiap sudutnya. Seolah mereka melepaskan kerinduan setelah lama meninggalkan kemesraan masa lampau, kemesraan diatas lembaran-lembaran kertas yang puitis, lembaran-lembaran kreatif pemuda-pemudi belia pada periode asmara pertama.
Lalu Dia dan dia terjebak dalam kelezatan bernostalgia. Mereka bercerita tentang cerita mereka. Mereka saling mengadu atas keluh kesah mereka. Kadang mereka berfalsafah, kadang mereka berhikmah, kadang bermusyawarah menyimpulkan kesimpulan hidup, kadang berdebat menyingkap rahasia tuhan yang redup. Mereka menikmati setiap detik rentetan huruf di dunia maya.
Mereka terus bercumbu di dunia maya. Kelezatan jiwa mereka teguk dari setiap kata. Emosi dan rindu mereka luapkan dalam himpunan kata. Getaran jiwa mereka kais dalam ibarat dan perumpamaan sebuah fakta. Mereka bagai penyair piawai yang bergulat dalam desahan suku-kata, berguling-guling mengerang kenikmatan dengan sentuhan kulit tata bahasa. kata dan kalimat mempertemukan saraf asmara dan kemanusiawian mereka. Mereka bersetubuh dalam pembaringan tanda-tanda bahasa. Seolah mereka bisa menikmati cinta hanya lewat bahasa.
Persamaan dan kecenderungan identik membuat mereka intim dalam berfatwa. Kerinduan dan cinta sang dia membuat setiap kalimat menjadi berwarna. Kesendirian dan kesepian membuat sang Dia menikmati setiap perhatian dan kasih sayang via bahasa. Mereka seakan tersesat dalam persimpangan rute cinta. Mereka saling menemukan keindahan asmara dan romantika, tapi melalui sudut yang berbeda.
Seolah mereka bermesraan pada dimensi lain dalam galaxi cinta. Beromansa ria dalam ruang-ruang sebelah ruang utama cinta. Saling membutuhkan dan memanfaatkan apa yang ada. Jika para pecinta lain mampu bersua dalam ruang utama cinta, mereka hanya bisa saling meraih di teras atau diluar jendela. Ketika manusia lain saling bersentuhan raga dan jarak, mereka hanya bisa bersama dan intim dalam sentuhan luapan kata. Seolah mereka tidak memenuhi syarat bercinta, dia mencintai sepenuhnya, tapi Dia mencintai jiwanya saja.
Ahfa Rahman
06 Juni 2011
Ketika Dia pergi dengan acuh, dia tetap menjaga kekaguman dan cintanya, tak pernah dia lepaskan walau sedetik sekejap. Bayangan sang Dia bahkan selalu mengiringinya, membuntutinya, memakan waktu dan menghimpit kejiwaannya. Sewindu dia menyimpan rapi dan tersiksa hati, bukan sebatas rentetan tahun yang sekejap.
Dia pergi sekonyong-konyong hati, tak sadar bercak dan jejak yang telah ia pahat kuat dalam hati sang dia. Dia pergi dengan fakta penilaian hati dan intimidasi para kerabat. Dia mengembara ke lembah nan jauh sembari mencari cinta disana. Berusaha melupakan sang dia yang tidak diterima hati dan logika. Tapi dia sadar.... , perlakuannya salah dan bersalah, tapi egoisme dan keacuhan membuatnya lupa bertutur maaf.
Sang dia mulai kelimpungan dengan bebannya, menghadapi beberapa episode kehidupan dengan kekecewaan dan belitan emosi cinta yang menyala-nyala. Mencoba bangkit ditengah-tengah lembah kerapuhan. Tangis dan ratapan menjadi peran drama yang selalu ia mainkan. Sebuah lara ditengah kesendirian dan kelemahan. dia rapuh, tapi menjadikan laranya sebagai tangga untuk memanjat pijakan hari-harinya yang dinamis.
Dia disana ternyata juga kelelahan mencari cinta. Terseok-seok dan teriris-iris jiwanya. Sudah terlalu sering ia mengemis dan meratap cinta, tapi impian keindahan yang ia harapkan, justru menjadi bomerang tajam yang mencabik-cabik hidupnya. Dia sempoyongan disana, tiada teman dan sandaran yang nyaman. Dia termarjinalkan dalam kerumunan padat manusia. Sepi...., jiwanyapun sunyi, hatinyapun sendu...
Sang dia disana kokoh dalam peradabannya. Para manusia mengagumi keistimewaannya. dia banyak dipuja dan menduduki tahta pencapaian. Disekelilingnya ramai dengan para manusia yang menemani dan menyayanginya, tapi hatinya masih sepi seperti biasa, masih meratapi bayangan Dia nun jauh di ufuk barat. Tiada teropong yang menjangkaunya, tapi bayangannya masih enggan untuk beranjak dari relung hatinya.
Lalu mereka bersua setelah perjalanan ini begitu jauh. Pencarian Dia untuk mengemis dan mengharap ampunan membuat mereka saling bersapa. Sang Dia meronta-ronta dan berkeluh kesah akan nasibnya, sang dia menikmati pembicaraan dari setiap sudutnya. Seolah mereka melepaskan kerinduan setelah lama meninggalkan kemesraan masa lampau, kemesraan diatas lembaran-lembaran kertas yang puitis, lembaran-lembaran kreatif pemuda-pemudi belia pada periode asmara pertama.
Lalu Dia dan dia terjebak dalam kelezatan bernostalgia. Mereka bercerita tentang cerita mereka. Mereka saling mengadu atas keluh kesah mereka. Kadang mereka berfalsafah, kadang mereka berhikmah, kadang bermusyawarah menyimpulkan kesimpulan hidup, kadang berdebat menyingkap rahasia tuhan yang redup. Mereka menikmati setiap detik rentetan huruf di dunia maya.
Mereka terus bercumbu di dunia maya. Kelezatan jiwa mereka teguk dari setiap kata. Emosi dan rindu mereka luapkan dalam himpunan kata. Getaran jiwa mereka kais dalam ibarat dan perumpamaan sebuah fakta. Mereka bagai penyair piawai yang bergulat dalam desahan suku-kata, berguling-guling mengerang kenikmatan dengan sentuhan kulit tata bahasa. kata dan kalimat mempertemukan saraf asmara dan kemanusiawian mereka. Mereka bersetubuh dalam pembaringan tanda-tanda bahasa. Seolah mereka bisa menikmati cinta hanya lewat bahasa.
Persamaan dan kecenderungan identik membuat mereka intim dalam berfatwa. Kerinduan dan cinta sang dia membuat setiap kalimat menjadi berwarna. Kesendirian dan kesepian membuat sang Dia menikmati setiap perhatian dan kasih sayang via bahasa. Mereka seakan tersesat dalam persimpangan rute cinta. Mereka saling menemukan keindahan asmara dan romantika, tapi melalui sudut yang berbeda.
Seolah mereka bermesraan pada dimensi lain dalam galaxi cinta. Beromansa ria dalam ruang-ruang sebelah ruang utama cinta. Saling membutuhkan dan memanfaatkan apa yang ada. Jika para pecinta lain mampu bersua dalam ruang utama cinta, mereka hanya bisa saling meraih di teras atau diluar jendela. Ketika manusia lain saling bersentuhan raga dan jarak, mereka hanya bisa bersama dan intim dalam sentuhan luapan kata. Seolah mereka tidak memenuhi syarat bercinta, dia mencintai sepenuhnya, tapi Dia mencintai jiwanya saja.
Ahfa Rahman
06 Juni 2011