Jika aku mengikuti kata hati dan jujur, ada atau tidak adanya tuhan kadang aku bingung, masih banyak pertanyaan dan hal-hal membingungkan dalam beban pemikiranku. Aku tahu Islam beserta tuhannya dari sebuah dogma, dogma yang berkepanjangan tanpa ada satu halpun yang empiris. Memang aku bukan nabi atau malaikat yang langsung menemukan tuhannya dengan empiris, aku hanya umat atau pengikut yang hanya harus mengimani apa kata pemimpin dan ulama-ulamaku. Keadaan ini membuatku kurang puas, banyak pertanyaan-pertanyaan logis atau tidak logis yang masih menggelayutiku. Seandainya aku bertemu tuhan secara empiris, beban spiritualku mungkin lebih ringan dan aku rasa, aku bisa menjadi agamawan yang lebih baik.
Tapi apa yang harus kuperbuat?? Agamaku adalah agama samawi, aku harus percaya wahyu-wahyu itu.., dan selanjutnya aku telah beridentitas islam, aku ber-Islam ria dengan kurang beruntung, pendidikan agama aku dapat dari sebuah kekerasan, sehingga aku melakukan ritual agama bukan atas kebutuhan atau tanggung jawab, tapi rasa takut berkepanjangan yang selanjutnya memicu kebencian dan keengganan. Semua itu disebabkan karena aku tidak mendapatkan point indahnya agama yang membuatku terenyuh, agama yang kukenal sangat kasar, entah apakah memang agamaku kasar, atau pihak-pihak yang menyampaikan agama itu kepadaku yang agak bodoh.
Aku pernah beragama ria di tempat yang suci katanya, dan aku rasa aku telah berjuang keras untuk segala kewajibanku. Ternyata tempat itu sama sekali tidak membahagiakanku, tempat itu kotor dan penuh najis, penuh dengan manusia yang bobrok dan tidak bermoral. Pendidikan yang tidak berkualitas, dan pemimpin yang otoriter dan suka bersengketa. Ditempat itu juga aku pernah mencoba mendekatkan diriku kepada tuhan dengan cara yang aku tahu, tapi upaya dan proses itu malah merusakku, kerusakan diri yang tidak ada bahasa istilahnya. Kerusakan yang berdampak liar hingga saat ini.
Aku sama sekali tidak menikmati ritual-ritual agamaku, semuanya terasa memberatkan dan menyiksa. Konsep-konsep agama terlalu mengekang yang aku rasakan, tidak masalah jika setiap perintah terdapat intisari, tetapi ternyata tidak, banyak ritual agama yang tidak memberi manfaat apapun. Agamaku kurang pragmatis, kaku, yang aku tahu, kehidupan pragmatis asalkan tidak merugikan pihak lain dan menjunjung moral dan nilai kebaikan lebih baik untuk kehidupan manusia
Setelah beranjak dewasapun aku masih diberi beban dalam beragama, banyak hal tidak logis yang menimpaku, sehingga membuatku termenung berpikir untuk masa yang cukup lama, sebuah peristiwa yang tidak bisa diamini oleh naluri dan jalan pikiranku, Aku cukup tersiksa dengan semua ini, aku anggap semua ini over, karena semuanya sangat kontradiktif dengan apa yang agamaku janjikan. Pikiranku juga dibuat sibuk olehnya, aku tidak bisa menentukan mana ridho tuhan dan mana yang bukan. Suatu saat aku diberiakan naluri untuk melakukan sesuatu, tapi pada akhirnya dia (tuhan) menyalahkanku karena melakukan itu.
Aku sungguh merasa terombang ambing dalam permainan tuhan, tuhan tidak konsisten memberikan naluri...., agama membuatku terbelenggu dan sumber lara bukan lagi sumber kebahagiaan dan kedamaian. Kesimpulanku tuhan memiliki sifat yang teramat rumit. sungguh zat yang membingungkan...
Ahfa Rahman
17-08-2010
Tapi apa yang harus kuperbuat?? Agamaku adalah agama samawi, aku harus percaya wahyu-wahyu itu.., dan selanjutnya aku telah beridentitas islam, aku ber-Islam ria dengan kurang beruntung, pendidikan agama aku dapat dari sebuah kekerasan, sehingga aku melakukan ritual agama bukan atas kebutuhan atau tanggung jawab, tapi rasa takut berkepanjangan yang selanjutnya memicu kebencian dan keengganan. Semua itu disebabkan karena aku tidak mendapatkan point indahnya agama yang membuatku terenyuh, agama yang kukenal sangat kasar, entah apakah memang agamaku kasar, atau pihak-pihak yang menyampaikan agama itu kepadaku yang agak bodoh.
Aku pernah beragama ria di tempat yang suci katanya, dan aku rasa aku telah berjuang keras untuk segala kewajibanku. Ternyata tempat itu sama sekali tidak membahagiakanku, tempat itu kotor dan penuh najis, penuh dengan manusia yang bobrok dan tidak bermoral. Pendidikan yang tidak berkualitas, dan pemimpin yang otoriter dan suka bersengketa. Ditempat itu juga aku pernah mencoba mendekatkan diriku kepada tuhan dengan cara yang aku tahu, tapi upaya dan proses itu malah merusakku, kerusakan diri yang tidak ada bahasa istilahnya. Kerusakan yang berdampak liar hingga saat ini.
Aku sama sekali tidak menikmati ritual-ritual agamaku, semuanya terasa memberatkan dan menyiksa. Konsep-konsep agama terlalu mengekang yang aku rasakan, tidak masalah jika setiap perintah terdapat intisari, tetapi ternyata tidak, banyak ritual agama yang tidak memberi manfaat apapun. Agamaku kurang pragmatis, kaku, yang aku tahu, kehidupan pragmatis asalkan tidak merugikan pihak lain dan menjunjung moral dan nilai kebaikan lebih baik untuk kehidupan manusia
Setelah beranjak dewasapun aku masih diberi beban dalam beragama, banyak hal tidak logis yang menimpaku, sehingga membuatku termenung berpikir untuk masa yang cukup lama, sebuah peristiwa yang tidak bisa diamini oleh naluri dan jalan pikiranku, Aku cukup tersiksa dengan semua ini, aku anggap semua ini over, karena semuanya sangat kontradiktif dengan apa yang agamaku janjikan. Pikiranku juga dibuat sibuk olehnya, aku tidak bisa menentukan mana ridho tuhan dan mana yang bukan. Suatu saat aku diberiakan naluri untuk melakukan sesuatu, tapi pada akhirnya dia (tuhan) menyalahkanku karena melakukan itu.
Aku sungguh merasa terombang ambing dalam permainan tuhan, tuhan tidak konsisten memberikan naluri...., agama membuatku terbelenggu dan sumber lara bukan lagi sumber kebahagiaan dan kedamaian. Kesimpulanku tuhan memiliki sifat yang teramat rumit. sungguh zat yang membingungkan...
Ahfa Rahman
17-08-2010